Praktik Prostitusi di Palembang, Dari Blok Rusun Hingga Jaringan Internasional (1)

Praktik prostitusi di Palembang sering menjerat para wanita yang mencari pekerjaan baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.

oleh Nefri Inge diperbarui 12 Apr 2021, 18:34 WIB
Nasib tragis dialami Entin Sultini, gadis 16 tahun asal Sukabumi yang menjadi korban perdagangan manusia. Semula dijanjikan pekerj...

Liputan6.com, Palembang - Kota Palembang menjadi salah satu jantung perkotaan di Sumatera Selatan (Sumsel). Sebagai Ibu Kota Sumsel, pembangunan infrastruktur di Kota Palembang sangat pesat.

Bahkan sejak banyaknya event berskala internasional, membuat Palembang semakin dikenal di kancah nasional hingga internasional. Namun, kesuksesan Palembang menjadi kota metropolis, juga tak lepas dari aktivitas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Ada beberapa lokasi yang dikenal sebagai sarang prostitusi berskala besar, seperti kampung baru di Jalan Teratai Putih Palembang, rumah susun (rusun) di Kelurahan 26 Ilir Palembang hingga beberapa lokasi lainnya.

Kasus human trafficking di Sumsel, juga ditangani oleh Women’s Crisis Centre (WCC) Palembang. WCC Palembang mendata dari tahun 2014 hingga 2018, ada 39 kasus TPPO yang ditanganinya.

Di tahun 2014, sebanyak 4 orang, 29 orang di tahun 2015, 4 orang di tahun 2016, 1 orang di tahun 2017 dan 2018 sebanyak 1 orang.

Direktur WCC Palembang Yeni Roslaini mengungkapkan, TPPO di Sumsel berawal dari para korban ditawari kerjaan di rumah makan menjadi pelayan restoran, dengan iming-iming gaji dari Rp2 juta hingga Rp3 jutaan. Namun kenyataan yang diterima korban, berbanding terbalik dari pekerjaan yang dijanjikan.

Bahkan ada korban, yang awalnya memang dipekerjakan sebagai pelayan restoran di hotel. Namun korban disuruh mengantarkan makanan ke salah satu kamar pelanggan. Di sana, korban akhirnya dipaksa untuk melayani laki-laki.

WCC Palembang juga pernah mendampingi korban TPPO asal Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumsel sekitar lima tahun lalu. Korban yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah, ditawarkan oleh teman sekampungnya untuk bekerja di Kota Palembang.

“Dia ditawari oleh temannya sekampung, yang sudah bekerja di luar OKI. Tapi yang datang dan menjemput korban adalah orang lain. Orangtua mereka dikasih uang muka sebesar Rp500.000, sebelum korban berangkat (dibawa pelaku sindikat TPPO),” ujarnya kepada Liputan6.com, Sabtu (10/4/2021).

Korban yang akhirnya terjerat bisnis prostitusi di salah satu hotel di kawasan Kilometer 7 Palembang, berupaya melarikan diri. Saat kondisi di hotel yang ditempatinya sepi di subuh hari, korban melompat dari lantai atas, sehingga kakinya mengalami cidera.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini :


Rumah Penampungan TPPO

Direktur WCC Palembang Yeni Roslaini (Liputan6.com / Nefri Inge)

Lalu, korban terus berupaya lari ke arah jalan raya. Ketika ada bus kota yang lewat, korban langsung menaiki bus tersebut, tanpa mengantongi sepeser pun uang untuk membayar ongkos. Ketika kernet bus menagih uang ongkos, korban menjelaskan kondisinya yang tak membawa uang dan meminta diturunkan di masjid besar di Palembang.

“Dia meminta turun di masjid besar, jadi diturunkan di Masjid Agung Palembang. Di sana ada pengurus masjid, yang juga tahu dengan WCC Palembang. Akhirnya dikomunikasikan ke WCC Palembang dan korban langsung kami jemput. Setelah pendampingan, akhirnya kami pulangkan korban ke Kabupaten OKI,” katanya.

Sekitar 6-7 tahun lalu, WCC Palembang juga pernah menangani kasus korban TPPO, yang berhasil kabur dari rumah penampungan di Jalan Tanjung Harapan Palembang. Para korban TPPO tersebut, rencananya akan dibawa ke Riau dan Batam, untuk dikirim ke berbagai pusat hiburan di Indonesia.

Oknum sindikat memberikan perlakuan tidak manusiawi ke para korban. Seperti, para korban mendapatkan makanan dari oknum sindikat, dengan cara menadah menggunakan kedua tangannya.

Sindikat TPPO tersebut juga membuka usaha laundry. Namun, para perempuan yang ditampung itulah, yang dipekerjakan sebagai pencuci pakaian secara manual. Dengan modus, mereka harus membayar biaya makan dan penginapan selama di penampungan tersebut.

 


Iklan Lowongan TKW

Ilustrasi perdagangan manusia. Ilustrasi: Amin H. Al Bakki/Kriminologi.id

“Setelah ada laporan dari salah satu korban, kami akhirnya melaporkan rumah penampungan itu ke aparat polisi. Mungkin sekarang sudah tidak ada lagi, karena sudah beberapa tahun lalu,” ujarnya.

Salah satu perempuan asal Pare-Pare Sulawesi Selatan (Sulsel), juga menjadi korban sindikat human trafficking. Korban yang awalnya tinggal bersama keluarganya di Palembang, tertarik dengan iklan lowongan kerja jadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Malaysia.

Dari iklan lowongan itu, korban bertemu dengan jaringan Human Trafficking di Sumsel, yang berkedok penyalur TKW ke Malaysia. Karena tergiur dengan penawaran pekerjaan tersebut, korban akhirnya ikut saat dibawa ke rumah penampungan di Jalan Tanjung Harapan Palembang.

Di sana, korban sempat tidak mendapat kepastian kapan akan diberangkatkan ke Malaysia. Namun beberapa waktu menunggu, korban dikirim ke berbagai daerah dengan iming-iming bekerja di perusahaan di Malaysia.

Ternyata, perempuan asal Pare-Pare itu dikirim ke berbagai kota di Indonesia, seperti di Tanjung Balai Karimun, Batam hingga terakhir ke Malaysia, untuk dijadikan sebagai PSK.


Dipulangkan Kedutaan Indonesia

Ilustrasi Pekerja Seks Komersial (PSK). (iStockphoto)

Karena tidak berdaya, korban tidak bisa menolak saat dijadikan PSK. Oknum jaringan Human Trafficking tersebut juga mengancam korban, dengan rentetan nominal utang yang harus dibayarnya. Mulai dari biaya makan, ongkos keberangkatan hingga biaya pembuatan passport.

“Dia akhirnya bisa melarikan diri dan meminta perlindungan ke Kedutaan RI di Malaysia. Di Jakarta, korban didampingi oleh Migrant Care dan International Organization for Migration (IOM). Karena korban berangkat dari Palembang, akhirnya WCC dikontak untuk mendampinginya di Palembang,” katanya.

Karena tidak memungkinkan dipulangkan ke rumah keluarganya di Palembang, korban akhirnya diinapkan di shelter WCC Palembang. Saat berada di Palembang, korban dalam kondisi hamil dan menderita penyakit kelamin.

Menurut Yeni, tindakan medis untuk melahirkan akan sulit jika tidak ada keluarga atau suami korban. Namun saat korban akan melahirkan, WCC dibantu salah satu rekan dokter senior di Palembang.

Dalam keterbatasan kondisi dan trauma, korban pun enggan merawat anaknya yang lahir berperawakan Tionghoa. Akhirnya ada salah satu dokter yang berniat mengadopsi anak korban. WCC pun turut mendampingi proses adopsi bayi tersebut.

 

Baca Berita SelanjutnyaPraktik Prostitusi di Palembang, Dari Blok Rusun Hingga Jaringan Internasional (2/END)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya