WHO: Negara Berpenghasilan Rendah Hanya dapat 0,2 Persen dari 700 Juta Vaksin COVID-19

WHO mengungkapkan bahwa di negara berpenghasilan tinggi, hampir 1 dari 4 orang telah menerima vaksin COVID-19

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 11 Apr 2021, 16:19 WIB
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus berbicara dalam sebuah konferensi pers di Jenewa, 11 Maret 2020. WHO menyatakan wabah COVID-19 dapat dikategorikan sebagai "pandemi" karena virus tersebut telah menyebar semakin luas ke seluruh dunia. (Xinhua/Chen Junxia)

Liputan6.com, Jakarta - World Health Organization (WHO) menilai masih ada ketidakseimbangan dalam distribusi vaksin COVID-19 secara global.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan bahwa dari 700 juta lebih dosis vaksin corona yang telah disalurkan di dunia, lebih dari 87 persennya diberikan ke negara berpenghasilan tinggi atau menengah ke atas.

"Sementara negara-negara berpenghasilan rendah hanya menerima 0,2 persen," kata Tedros dalam konferensi persnya pada Jumat pekan ini, waktu Jenewa, Swiss.

Dikutip dari laman WHO pada Minggu (11/4/2021), Tedros menyebut bahwa rata-rata di negara berpenghasilan tinggi, hampir satu dari empat orang di sana telah menerima vaksin.

"Di negara-negara berpenghasilan rendah, itu satu di lebih dari 500. Izinkan saya ulangi: satu dari empat dibandingkan satu dari 500," katanya menegaskan.

COVAX memperkirakan dapat mendistribusikan hampir 100 juta vaksin di Akhir Maret. Namun, penurunan pasokan membuat mereka hanya bisa mengirim 38 juta dosis. "Kami berharap dapat mengejar ketertinggalan selama bulan April dan Mei," kata pria asal Ethiopia itu.

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini


Percepat Kajian Sinopharm, Sinovac, dan Gamaleya

Tedros Adhanom Ghebreyesus (tengah), direktur jenderal Organisasi Kesehatan Dunia, berbicara pada konferensi pers tentang pembaruan COVID-19, di kantor pusat WHO di Jenewa, Swiss.(Salvatore Di Nolfi/Keystone via AP)

Tedros juga mengetahui ada beberapa negara dan perusahaan yang berencana melakukan donasi vaksin bilateral secara mandiri, tanpa melewati COVAX, karena alasan politik atau komersial.

Menurutnya, hal ini "berisiko mengipas api" ketidakadilan vaksin. "Ini adalah waktu untuk kemitraan, bukan patronase. Kelangkaan pasokan mendorong nasionalisme vaksin dan diplomasi vaksin," katanya.

Tedros pun mengungkapkan bahwa Gavi, WHO, CEPI, dan mitra COVAX lain tengah melakukan beberapa opsi untuk mempercepat produksi dan pasokan.

Mereka sedang berdiskusi dengan pemerintah India soal pasokan vaksin dari Serum Institute of India, serta berupaya mempercepat peluncuran vaksin SK Bio Korea Selatan.

Selain itu, mereka juga mencoba untuk mempercepat pengiriman vaksin Johnson and Johnson, serta mempercepat kajian terhadap lebih banyak vaksin termasuk Sinopharm, Sinovac, dan Gamaleya.

"Kami terus mencari sumbangan dosis dari negara-negara yang memiliki cukup untuk menutupi seluruh populasinya beberapa kali lipat , tidak dalam waktu beberapa bulan, tetapi sekarang," kata Tedros.

"Dan kami sedang berdiskusi dengan beberapa negara untuk meningkatkan kapasitas produksi global."


Infografis Stok Vaksin Covid-19 di Indonesia Menipis

Infografis Stok Vaksin Covid-19 di Indonesia Menipis. (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya