Liputan6.com, Jakarta Edukasi tentang pentingnya vaksinasi juga harus diberikan kepada anak dengan disabilitas. Namun, penyampaiannya pun haruslah disampaikan dengan cara yang sederhana.
Budi Prasodjo, Kepala Sekolah SLB/G Dwituna Rawinala mengungkapkan, memperkenalkan vaksin kepada anak penyandang disabilitas dimulai dengan cara yang sederhana dan menyenangkan untuk mereka.
Advertisement
"Jadi anak sudah dikenalkan terlebih dahulu tentang apa itu vaksin dan sebagainya," kata Budi dalam sebuah dialog virtual beberapa waktu lalu, ditulis Selasa (13/4/2021).
Kemampuan setiap anak penyandang disabilitas berbeda-beda. Budi mengatakan, ada beberapa anak yang "levelnya tinggi" dan bisa lebih mudah dalam memahami sebuah konsep, tetapi ada juga yang tahap pemahamannya menengah.
"Kita dengan diskusi bersama, dengan cerita-cerita. Misalkan Darto, besok kita akan vaksin supaya kita lebih sehat, kita lebih aman. Nanti setelah kita divaksin, pulang kita makan bakso bareng. Dengan pendekatan-pendekatan seperti itu," kata Budi.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Simak Juga Video Menarik Berikut Ini
Menggunakan Bahasa Sederhana
Budi mencontohkan, cara lain yang mereka lakukan misalnya seperti memperkenalkan tiruan jarum suntik serta bagaimana proses penyuntikan vaksin. Para siswa pun diberikan pemahaman tentang manfaat vaksinasi, sehingga mereka tidak perlu takut untuk disuntik.
"(Kita beritahu) tidak perlu dengan takut karena bukan hal yang menakutkan. Itu adalah bagian untuk memberikan kesehatan kepada kita supaya kita lebih aman, lebih kebal, imun masuk, supaya tidak mudah tertular penyakit dan sebagainya."
Budi mengatakan, edukasi vaksin bagi anak dengan disabilitas semacam ini dilakukan dengan proses-proses serta penggunaan bahasa yang sederhana.
Budi mengungkapkan, SLB/G Dwituna Rawinala sejauh ini sudah memberikan vaksinasi COVID-19 ke sekitar 26 anak penyandang disabilitas yang telah berusia 18 tahun ke atas.
"Ditambah pendamping-pendamping dari keluarga dan pendamping-pendamping guru, kurang lebih semua ada 60-an," kata Budi.
"Memang dibatasi usia yang 18 tahun ke atas. Kemudian ada beberapa anak yang kadang-kadang harus menggunakan obat epilepsi, itu sengaja tidak kami ikutkan."
Advertisement