Kinipan, Kisah Tentang Napas Hutan yang Tinggal Sejengkal

Film yang kerusakan lingkungan ini mampu menghipnotis penonton meskipun berdurasi 2 jam lebih. Film yang disutradarai Dandhy Dwi Laksono dan Indra Jati ini dibuka dengan kondisi deforestasi hutan Kinipan, Kalimantan Tengah

oleh Ajang Nurdin diperbarui 13 Apr 2021, 21:53 WIB
Pemutaran film dokumenter “Kinipan”, Watchdoc, sebuah dokumenter pandemi, omnibus law, dan lumbung pangan. yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Batam dan organisasi Aktipis Akar Bhumi Indonesia. (Foto: Liputan6.com/Ajang Nurdin)

Liputan6.com, Batam - Puluhan orang berbondong-bondong mendatangi shelter Akar Bhumi Indonesia di Tanjung Piayu, Kota Batam, Sabtu, 10 April 2021. Mereka hendak menyaksikan film dokumenter 'Kinipan', yang diproduksi oleh Watchdoc

Ini adalah dokumenter yang bercerita soal pandemi Covid-19, omnibus law, dan lumbung pangan.

Acara yang digagas oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Batam dan organisasi pegiat Akar Bhumi Indonesia dihadiri berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa hingga masyarakat sekitar. Film tentang kerusakan lingkungan ini mampu menghipnotis penonton meskipun berdurasi dua jam lebih.

Film dokumenter yang disutradarai Dandhy Dwi Laksono dan Indra Jati ini dibuka dengan potret deforestasi hutan Kinipan, Kalimantan Tengah. Kondisi itu diperparah lagi dengan pembukaan lahan untuk kebun sawit.

Kerusakan lingkungan menghancurkan ekosistem yang sudah terbangun sejak lama, termasuk konflik dengan masyarakat adat. Akibatnya populasi satwa dilindungi terancam punah.

Kondisi yang sama juga terjadi di nyaris seluruh wilayah Indonesia, termasuk yang terjadi di Pulau Sumatera, saat harimau Sumatra terus berkurang akibat kerusakan hutan.

Kinipan menampilkan cerita yang perlu dipahami semua masyarakat. Konflik di Kinipan bisa saja terjadi di semua desa, bahkan Indonesia secara umum.

“Filmnya mencoba memunculkan isu kerusakan lingkungan yang harus menjadi perhatian bersama,” ujar Margaretha Nainggolan salah seorang penonton.

Bukan tanpa alasan acara nobar film dokumenter ini digelar di Shelter Akar Bhumi Indonesia. Kawasan ini merupakan salah satu hutan lindung di Kota Batam. Namun, kini sering terjadi pengurukan hutan mangrove oleh beberapa pengembang.

“Apa yang terjadi dalam film Kinipan ini juga terjadi di Batam, banyak sekali aturan izin penggunaan lahan tumpang tindih, hal itu berpotensi terjadinya kerusakan,” ujar Uba Ingan Sigalingging Anggota Komisi I DPRD Kepri, yang hadir menyaksikan film Kinipan tersebut.

Uba melanjutkan, selain itu ancaman kepentingan kelompok tertentu terhadap pelestarian lingkungan juga terjadi di Kota Batam. Padahal, ekosistem lingkungan harus menjadi perhatian bersama. “Lihat saja di Batam ini, investasi berpengaruh ke lingkungan, resapan air tidak ada lagi, hujan satu jam saja, Batam banjir,” kata Uba.

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini:


Melawan Deforestasi

Nelayan dengan perahu mungil berhadapan dengan 'raksasa-raksasa lautan' di Batam. (Foto: Liputan6.com/Ajang Nurdin)

Ia mengapresiasi, kerjasama AJI Kota Batam dan NGO Akar Bhumi Indonesia menggelar nobar film “Kinipan” dan diskusi tersebut. Kegiatan ini akan menjadi edukasi pemahaman politik kepada masyarakat untuk memperhatikan lingkungan.

“Pemerintah selama ini sudah ada perhatian kepada lingkungan, tetapi tidak serius,” ujar Uba.

Ketua Aji Kota Batam, Slamet Widodo mengatakan, selanjutnya akan ada kegiatan yang sama dengan film-film dokumenter menarik lainnya. “Selanjutnya kita bisa nanti menyaksikan film dokumenter soal sampah berjudul Pulau Plastik,” katanya.

Widodo menegaskan, film Kinipan adalah cermin besar betapa bobroknya pemangku kepentingan dalam menyikapi kerusakan lingkungan. Kesalahan itu, tidak hanya merusak lingkungan dalam jangka pendek, tetapi juga menciptakan virus-virus berbahaya.

“Artinya virus akan diciptakan oleh negara, jika kita tidak kunjung bersikap,” ujarnya.

Menariknya, dalam acara nobar Kinipian tak hanya aktivis, mahasiswa hingga masyarakat yang hadir. Pejabat pemerintah setempat yaitu, Kepala Seksi RHL BPDAS Sei Jang Duriangkang Sumiati juga turut hadir dalam acara ini.

BPDAS adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di bidang pengelolaan daerah aliran sungai dan hutan lindung yang berada di bawah Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung.

“Kita hadir di acara ini artinya kita siap menerima semua kritikan,” kata Sumiati.

Sumiati melanjutkan, film 'Kinipan' menunjukan bahwa masyarakat adat atau lokal harus menjadi teman oleh pejabat setempat. Komunikasi persuasif harus dilakukan dengan baik.

“Di dalam film, terlihat masyarakat adat menolak, harusnya hal itu tidak dipaksakan, tetapi mencoba mencari lahan lain, kita tidak pernah memaksakan kehendak jika berbenturan dengan masyarakat lokal,” kata Sumiati.

Founder NGO Akar Bhumi Indonesia Hendrik Hermawan mengatakan, dari film 'Kinipan' kita harus sepenuh hati menjaga hutan. Namun, menjaga hutan harus dilakukan bersama-sama, baik aktivis, jurnalis, dan pemerintah.

“Ekosistem itu harus dijaga, seperti harimau di dalam film ini yang semakin punah akibat kerusakan,” kata Hendrik.

Setelah nobar dan diskusi, keesokan harinya acara dilanjutkan dengan penanaman pohon mangrove di Tanjung Piayu

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya