Liputan6.com, Jakarta - Alat seperti Cellebrite yang dikatakan mampu membuka kunci smartphone yang terkunci, seperti iPhone, hingga kini menuai kontroversi.
Cellebrite sendiri adalah perusahaan intelijen digital Israel yang menyediakan alat untuk pengumpulan, analisis, dan pengelolaan data digital.
Advertisement
Alat ini sebagian besar digunakan oleh penegak hukum untuk membuka kunci smartphone dan mengambil bukti potensial dalam sejumlah kasus kejahatan. Namun bagi kalangan yang concern terhadap privasi, alat itu tidak boleh diizinkan. Demikian sebagaimana dilansir Ubergizmo, Selasa (13/4/2021).
Terlepas dari pendapat banyak orang tentang topik tersebut, tampaknya di Brasil, alat itu digunakan untuk membantu membuka iPhone milik dua orang yang dicurigai membunuh seorang anak berusia 4 tahun.
Kasus itu diselidiki sejak bulan lalu, namun polisi baru berhasil menangkap tersangka setelah bisa mengakses iPhone dan pesan yang tersimpan di dalamnya.
Rahasia Terungkap
Menurut isi pesan yang ada dalam smartphone tersangka, terungkap bahwa ayah tiri anak tersebut mengakui bahwa dia telah memukuli sang anak sampai mati, dan ibunya mengetahui segalanya.
Itu adalah bukti penting yang memungkinkan polisi untuk bergerak maju dalam kasus ini dan untuk menangkap tersangka.
Meskipun demikian, terdapat kontroversi seputar penggunaan alat tersebut karena meskipun perusahaan mengklaim hanya menjual alat mereka ke lembaga penegak hukum, tak menutup kemungkinan bahwa eksploitasi ini bisa digunakan oleh orang lain untuk tujuan kejahatan.
Advertisement
Data di iPhone Jadi Bukti Kasus Pembunuhan
Smartphone alias ponsel cerdas bisa melacak berbagai hal yang dilakukan oleh penggunanya. Misalnya saja smartphone bisa melacak lokasi, riwayat browsing internet, sampai data kesehatan seperti jumlah kalori yang terbakar, berapa banyak langkah dalam sehari, dan lain-lain.
Uniknya, data-data pengguna yang terpantau oleh smartphone ini bisa menjadi bukti investigasi dalam sebuah kasus. Terbaru, data-data tersebut digunakan untuk bukti investigasi sebuah kasus pembunuhan di Jerman.
Baca Juga
Mengutip laman Ubergizmo, Sabtu (13/1/2018), berdasarkan laporan dari Motherboard, seorang pria diduga memperkosa dan membunuh seorang wanita pada 2017.
Sejauh ini, penyidik mengalami kebingungan karena hanya ada sedikit data dan video terkait lokasi keberadaan terdakwa saat kejahatan tersebut terjadi.
Petugas berwenang pun kabarnya menyewa jasa sebuah perusahaan keamanan di Munich yang mampu membuka kunci keamanan iPhone milik terdakwa tersebut.
"Aplikasi berhasil merekam segala aktivitasnya, seperti menaiki tangga. Pihak berwenang pun menghubungkan aktivitas tersebut saat tersangka menyeret korbannya ke tanggul sungai, kemudian naik kembali. Polisi Freiburg mengirim seorang penyidik ke lokasi kejadian untuk mereplikasi gerakannya, dan tentu saja aktivitas aplikasi kesehatannya sama dengan apa yang tercatat di telepon milik terdakwa," jelasnya.
Peneliti di Yale Privacy Lab Sean O'Brien mengatakan ia percaya, pada masa yang akan datang kita bisa berharap pada smartphone sebagai bahan bukti.
"Bukti digital telah menjadi hal yang umum dalam penegakan hukum, tidak hanya matrik dari aplikasi tetapi juga teknologi pengenalan wajah, rekaman dari speaker pintar, dan juga perangkat pintar yang dilengkapi kamera," tutur O'Brien.
Teknologi Pengenalan Wajah Bantu Tangkap Penjahat
Sebelum smartphone, Kepolisian South Wales di Inggris menggunakan teknologi pengenalan wajah (facial recognition) untuk menangkap seorang pria.
Sebelumnya, pihak kepolisian telah melakukan uji coba teknologi Automatical Facial Recognition (AFR) selama 18 bulan terakhir. Akhir Mei lalu, penegak hukum mengumumkan kemitraan dengan perusahaan bernama NEC untuk menguji coba AFR selama berlangsungnya Liga Champions di Kota Cardiff.
Pada kesempatan itu, petugas terlatih memantau pergerakan di sejumlah lokasi dan pusat kota. Mengutip Mashable, dalam proses uji coba, sejumlah kamera ditempatkan di berbagai tempat untuk mengidentifikasi orang-orang yang ada di daftar pemantauan pihak kepolisian. Entah karena mereka tersangka kejahatan, orang hilang, atau orang-orang penting.
Juru bicara kepolisan South Wales mengungkapkan, penangkapan seorang pria setempat ternyata tak ada kaitannya dengan Liga Champions, tetapi kemungkinan besar, wajah pria tersebut ada dalam sistem Manajemen Rekaman Kepolisian setempat yang menyimpan setidaknya 500 ribu foto yang sudah didata sejak tahun 2015.
Menurut kepolisan, pertandingan final liga Champions jadi momen yang tepat untuk menguji coba teknologi pengenalan wajah AFR. Sekadar diketahui, saat ini Kepolisian Inggris juga telah menerapkan pengenalan wajah real-time yang terkoneksi di seluruh markas kepolisian.
"Dunia sudah berubah dan itu membuat polisi juga harus berubah," kata Asisten Kepala Polisi Richard Lewis.
Berdasarkan Komisaris Polisi Kriminal South Wales Alun Michael, teknologi pengenalan wajah AFR membantu proses penegakan hukum dan pencegahan kejahatan. "Teknologi ini memungkinkan kamu untuk mengidentifikasi potensi kasus pelanggaran di lingkungan tempat teknologi itu diterapkan," kata Michael.
Sejauh ini, penangkapan dengan bantuan teknologi pengenalan wajah ini merupakan yang pertama kalinya di Inggris.
(Isk/Tin)
Advertisement