Liputan6.com, Jakarta - Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai Surat Edaran (SE) No. M/6/HK.04/IV/2021 tentang pemberian THR di tahun 2021 yang dirilis oleh Menteri Ketenagakerjaan membingungkan. Terutama klausul mengenai Perusahaan bisa membayarkan THR paling lambat H-1.
Timboel menjelaskan, memang setiap tahun Menteri Ketenagakerjaan rutin mengeluarkan SE tentang pemberian THR menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Advertisement
“Namun di SE tahun ini yang ditandatangani tanggal 12 April 2021, khususnya yang terkait dengan perusahaan yang terdampak covid-19 sehingga tidak mampu membayar THR 2021 sesuai waktu yang ditentukan, menimbulkan ketidakpastian dan tidak masuk logika berpikir yang normal,” kata Timboel kepada Liputan6.com, Selasa (13/4/2021).
Alasannya pada point 1 yakni bagi perusahaan yang tidak mampu dan membuat kesepakatan dengan buruh disebutkan kesepakatan dibuat secara tertulis, yang memuat waktu pembayaran THR dengan syarat paling lambat dibayar sebelum hari raya keagamaan 2021.
“Dengan klausula tersebut saya menilai pengusaha yang tidak mampu karena terdampak Covid 19 dipaksa membayarkan THR paling lambat H-1 (sebelum hari raya). Saya nilai klausula ini sangat membingungkan dan sangat sulit dilaksanakan oleh Perusahaan,” jelasnya.
Menurutnya, point 1 ini hanya mengubah waktu pembayaran dari H-7 ke H-1. Point 1 ini tidak membuka ruang perusahaan yang tidak mampu untuk mencicilnya.
Bagaimana logika berpikir yang dibangun dalam SE ini, bila perusahan tidak mampu membayar THR pada H-7 karena terdampak Covid dan tidak diberi ruang mencicil, diwajibkan membayar THR di H-1.
“Saya kira perusahaan akan sangat sulit mencari dana dalam waktu 6 hari. Kewajiban pembayaran H-1 bagi perusahaan yang terdampak covid-19, tentunya akan juga menjadi masalah bagi buruh karena bila H-1 tidak juga dibayarkan oleh Perusahaan, apa yang bisa dilakukan Pengawas Ketenagakerjaan karena pada H-1 dipastikan Pengawas Ketenagakerjaan, manajemen dan pekerja sudah libur,” ungkapnya.
Di sisi lain, walaupun pembayaran THR di H-1 dilakukan. Maka kapan waktu pekerja untuk berbelanja mempersiapkan makan minum dan kebutuhan anak-anak untuk hari raya, karena besoknya sudah Hari Raya. Dana THR berpotensi tidak bisa dibelanjakan sehingga harapan Menko Perekonomian dana THR untuk mendukung konsumsi masyarakat tidak tercapai.
“Dengan fakta ini perubahan waktu pembayaran THRhttps://www.liputan6.com/tag/thr dari H-7 ke H-1 maka peluang pengusaha yang terdampak covid-19 untuk mengemplang bayar THR akan semakin besar, karena tidak diberi ruang untuk membangun kesepakatan membicarakan termin pembayaran,” ujarnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pembuktian
Ia menegaskan, jika hanya mengubah waktu pembayaran dari H-7 ke H-1 maka Point lainnya akan relatif percuma, mengingat akan ada kesulitan perusahaan yang terdampak covid-19 untuk membayar THR pada H-1.
Kalaupun di poin lain yang memberikan kewenangan Gubernur/Walikota/Bupati meminta laporan keuangan sebagai bukti bahwa perusahaan tidak mampu membayar THR, seharusnya perusahaan diberikan batas waktu pembuktian paling lambat H-14, sehingga Pengawas Ketenagakerjaan bisa mendorong kesepakatan dengan pekerja.
Karena tidak ada batas waktu paling lambat maka bisa saja penyerahannya diberikan H-8 sehingga kesepakatan akan sulit dicapai karena waktu sudah sempit, dekat dengan H-7. Dengan tidak adanya ketentuan waktu, maka Manajemen dan Pekerja yang melakukan kesepakatan melaporkan hasil kesepakatan ke Pemerintah H-7, akan sulit dilakukan juga.
Dirinya menilai, SE ini membuat ketidakpastian pembayaran THR bagi buruh oleh perusahaan terdampak covid semakin besar, dan SE ini sepertinya “jalan tengah” yang diambil Menteri Ketenagakerjaan yang tidak mau “berkonfrontasi” dengan menko Perekonomian yang meminta THR tidak boleh dicicil.
“Menteri Ketenagakerjaan bersepakat dengan menko Perekonomian dengan mengorbankan buruh. Ini salah satu prestasi buruk Menteri Ketenagakerjaan yang gagal memberikan kepastian bagi pekerja untuk mendapatkan THR,” pungkasnya.
Advertisement