Jepang Akan Buang Air Terkontaminasi Hasil Olahan Pembangkit Nuklir Fukushima ke Laut

Jepang bakal melepaskan lebih dari 1 juta ton air yang terkontaminasi dari pembangkit nuklir Fukushima ke laut.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 13 Apr 2021, 15:09 WIB
Seorang wanita melemparkan bunga ke laut sebagai penghormatan kepada para korban gempa bumi dan tsunami 2011 di daerah Arahama, Kota Sendai, Jepang, Rabu (11/3/2020). Gempa 9,0 magnitudo yang menyebabkan tsunami pada 11 Maret 2011 itu menyebabkan sekitar 15 ribu orang tewas. (Kyodo News via AP)

Liputan6.com, Tokyo - Pemerintah Jepang berencana untuk melepaskan lebih dari 1 juta ton air yang terkontaminasi dari pembangkit nuklir Fukushima ke laut.

Dikutip dari Channel News Asia, Selasa (13/4/2021) rencana itu disampaikan oleh Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga, dalam keputusan kontroversial yang mengikuti perdebatan selama bertahun-tahun.

Proses untuk melepaskan air yang terkontaminasi akan dimulai dalam waktu sekitar dua tahun dan bisa memakan waktu puluhan tahun untuk menyelesaikannya.

Namun, keputusan itu telah mendatangkan keluhan dari komunitas nelayan lokal, aktivis anti-nuklir, dan negara tetangga Jepang, yaitu China dan Korea Selatan.

Tetapi pemerintah Jepang menjelaskan bahwa langkah tersebut aman dilakukan karena air telah diproses untuk menghilangkan hampir semua unsur radioaktif dan akan diencerkan.

Keputusan ini juga sudah mendapat dukungan dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA), yang mengatakan pelepasan itu mirip dengan proses pembuangan air limbah dari pembangkit nuklir di tempat lain di dunia.

PM Yoshihide Suga mengatakan pada pertemuan tingkat menteri bahwa membuang air adalah "tugas yang tak terhindarkan" dalam proses penonaktifan pembangkit nuklir selama puluhan tahun.

Dikatakannya juga bahwa pelepasan akan terjadi hanya "setelah memastikan tingkat keamanan air" dan di samping langkah-langkah untuk "mencegah kerusakan reputasi".

Sekitar 1,25 juta ton air telah terkumpul di lokasi pembangkit nuklir di Fukushima, yang lumpuh setelah meleleh setelah bencana tsunami pada tahun 2011 silam.

Ini juga termasuk air yang digunakan untuk mendinginkan tanaman, serta air hujan dan air tanah yang merembes setiap hari.

Saksikan Video Berikut Ini:


Kekhawatiran Nelayan dari Dampak Pelepasan Air

Foto ini diambil pada 29 Februari 2020 petugas mengontrol akses area terlarang di Tomioka, prefektur Fukushima, tepat di sebelah utara PLTN Daiichi Daiichi Fukushima yang rusak parah akibat gempa bumi dan tsunami 2011. (AFP/Charly Triballeau)

Sistem pemompaan dan penyaringan ekstensif yang dikenal sebagai ALPS (Advanced Liquid Processing System), mengekstraksi berton-ton air yang baru terkontaminasi setiap hari dan menyaring sebagian besar elemen radioaktif.

Namun komunitas nelayan setempat khawatir pelepasan air itu akan mempengaruhi pekerjaan mereka yang telah dirintis selama bertahun-tahun untuk memulihkan kepercayaan terhadap makanan laut dari wilayah tersebut.

"Mereka memberi tahu kami bahwa mereka tidak akan melepaskan air ke laut tanpa dukungan nelayan," kata Kanji Tachiya, yang mengepalai koperasi perikanan lokal di Fukushima, kepada NHK sebelum pengumuman itu.

"Kita tidak bisa mendukung langkah ini untuk mengingkari janji itu dan melepaskan air ke laut secara sepihak," pungkas Tachiya.

Keputusan tersebut juga memicu oposisi regional bahkan sebelum diresmikan, dengan menteri luar negeri Korea Selatan menyatakan "penyesalan yang serius atas keputusan ini, yang dapat berdampak langsung atau tidak langsung pada keselamatan rakyat kami dan lingkungan sekitarnya di masa depan".

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian juga mendesak Jepang untuk "bertindak secara bertanggung jawab" atas pelepasan air tersebut.

"Untuk melindungi kepentingan publik internasional serta kesehatan dan keselamatan rakyat China, China telah menyatakan keprihatinan yang besar kepada pihak Jepang melalui saluran diplomatik," kata Zhao.


Infografis Aman Berpuasa Saat Pandemi COVID-19

Infografis Aman Berpuasa Saat Pandemi COVID-19 (Liputan6.com/Triyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya