Liputan6.com, Jakarta Di tengah meningkatnya atensi publik global terhadap ambisi banyak perusahaan untuk mengurangi emisi karbon, hal serupa juga dialami mayoritas perusahaan di Asia Tenggara. Sayangnya, banyak dari mereka juga pesimistis atas target transisi tersebut.
Dikutip dari Business Times, Minggu (18/4/2021) sebuah riset yang dibuat Standard Chartered menunjukkan sekalipun mayoritas perusahaan mendukung rencana transisi, 60 persen para pemimpin perusahaan di Asia Tenggara menyebut tidak akan transisi dalam waktu dekat dan pesimis mencapai 0 emisi di tahun 2050.
Presentase rencana untuk menunda proses transisi para eksekutif tersebut bahkan lebih tinggi dari presentase global.
Sekitar 55 persen eksekutif perusahaan global melihat perusahaannya akan gagal mencapai transisi emisi karbon yang lebih signifikan.
"Survei kami mengungkapkan bahwa sebagian besar perusahaan berniat untuk beralih ke nol bersih pada tahun 2050 tetapi belum mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencapainya," kata Bill Winters, CEO Standard Chartered.
"Banyak perusahaan ASEAN ingin menunda tindakan signifikan hingga setelah 2030, dengan tahun 2020-an tampaknya akan menjadi dekade yang suram," tambahnya
Sekitar 80 persen pimpinan eksekutif tersebut menyebut perusahaannya tidak akan mengambil tindakan signifikan untuk rencana transisi pada periode antara 2030 dan 2040. Lebih tinggi dari presentase global sekitar 66 persen.
Tingkat dukungan pemimpin eksekutif di perusahaan Asia Tenggara terhadap Kesepakatan Paris 2015 juga terbilang lebih rendah dari rata-rata global. Hanya 4 dari 10 eksekutif tersebut yang sepenuhnya mendukung, lebih rendah dari rata-rata global 47 persen.
Riset Standard Chartered dengan judul 'Zeronomics' tersebut dilakukan pada periode September hingga Oktober 2020. Riset dilakukan kepada sekitar 250 eksekutif perusahaan besar dan 100 spesialis investasi.
Saksikan Video Ini
Dipengaruhi Banyak Faktor
Emisi karbon merupakan kunci penting untuk menghindari perubahan iklim saat ini. Solusinya adalah mesin penghisap karbon di Swiss. (Pixabay)
Mayoritas para eksekutif di Asia Tenggara meyakini transisi ke energi bersih mampu memberikan dampak positif terhadap finansial perusahaan. Meski begitu, mereka juga melihat ada banyak faktor penghambat atas rencana ini.
Rupanya mayoritas pemimpin eksekutif perusahaan di Asia Tenggara melihat negosiasi dengan investor adalah hal paling alot. Banyak investor yang masih belum mendukung rencana ini.
Sekitar 73 persen dari mereka menyebut kurangnya dukungan dari investor mereka sendiri adalah hambatan terbesar atas rencana transisi. Tingkat pesimistis ini bahkan lebih tinggi dari rata-rata 60 persen secara global.
Selain minimnya dukungan investor, dua masalah lainnya ialah pendanaan serta kesiapaan perusahaan. Sekitar 70 persen dari mereka meyakini penyebab terhambatnya transisi dikarenakan minimnya pendanaan.
Di samping itu, 60 persen juga melihat perubahan sistem kerja atau organisasi perusahaan perlu dipersiapkan dengan matang.
Ada juga faktor lainnya. Hantaman pandemi setahun terakhir dilihat oleh hampir semua pemimpin eksekutif di Asia Tenggara sebagai hambatan utama gagalnya transisi tersebut.
Sekitar 97 persen menyebut Pandemi Covid-19 menghambat rencana transisi perusahaan mereka, lebih tinggi dari presentase 85 persen secara global.
Reporter: Abdul Azis Said
Advertisement