Liputan6.com, Jakarta Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/BRIN) Bambang Brodjonegoro mengungkapkan progres dalam pengembangan Vaksin Merah Putih.
Menristek mengatakan bahwa sejauh ini ada dua institusi yang paling cepat dalam pengembangan Vaksin Merah Putih yaitu LBM Eijkman dan Universitas Airlangga (Unair)
Advertisement
"Dari enam yang sedang bekerja, ada dua yang pengembangannya paling cepat," kata Menristek Bambang dalam acara kegiatan Workshop Pengawalan Vaksin Merah Putih oleh Badan POM pada Selasa (13/4/2021).
Enam institusi yang dalam pengembangan vaksin COVID-19 ini adalah Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Indonesia (UI), Unair, Universitas Gajah Mada (UGM), dan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Keenam institusi tersebut menggunakan platform yang berbeda-beda dalam mengembangkan Vaksin Merah Putih.
"Tentunya dalam pengembangan vaksin saat ini, teknologi vaksin saat ini, Indonesia harus bisa menguasai berbagai macam platform yang ada. Terutama platform yang dianggap sebagai kemajuan teknologi contohnya DNA atau mRNA," kata Bambang.
Simak Juga Video Menarik Berikut Ini
Tak Boleh Hanya Bergantung pada Bio Farma
Bambang mengatakan bahwa PT Bio Farma telah mengonfirmasi bahwa mereka akan memproduksi vaksin Eijkman yang dikembangkan dengan platform protein rekombinan ekspresi ragi (yeast).
"Untuk (vaksin Eijkman) yang ekspresi mamalia sebenarnya bibit vaksinnya sudah siap, tetapi Bio Farma belum siap menangani ekspresi mamalia. Sehingga kami fokus ke ekspresi yeast yang bibit vaksinnya diperkirakan bisa diberikan ke Bio Farma sekitar bulan Mei. Bulan depan."
Sementara untuk vaksin yang dikembangkan Unair dengan menggunakan inactivated virus (virus yang dimatikan), saat ini telah mendapatkan kemitraan dengan PT Biotis.
"Untuk PT Biotis, menurut info yang kami terima, masih mengurus izin CPOB (Cara Pembuatan Obat Baik) dengan BPOM. Tentunya kita harapkan dukungan BPOM agar kita punya industri pengembangan vaksin di luar Bio Farma," kata Bambang.
Menurut Bambang, Indonesia tidak bisa terus menerus bergantung pada Bio Farma. Hal ini menurutnya akan merepotkan apabila negara nantinya membutuhkan vaksin dalam jumlah yang besar.
"Untuk imunisasi nasional masih mungkin. Tetapi kalau levelnya sudah pandemi seperti ini, kalau kita ingin menjadikan kemandirian vaksin sebagai tujuan kita, kita butuh tambahan industri."
Advertisement