Liputan6.com, Jakarta- Sejumlah warga Irak mengungkapkan kesulitan mereka yang dalam menyambut bulan suci Ramadhan, dengan kenaikan harga bahan pokok yang tajam, penurunan daya beli dinar dan meningkatnya pengangguran.
"Setelah seharian berpuasa, kami harus makan sesuatu, bahkan jika harga satu kilo tomat naik lebih dari dua kali lipat," kata Umm Hussein, seorang ibu di Irak.
Advertisement
Umm Hussein, harus menghidupi kelima anaknya yang belum memiliki penghasilan.
Dia pun berjuang setiap bulan untuk mengumpulkan uang sewa US$ 45 untuk rumah sederhana mereka.
Sekitar 16 juta dari 40 juta penduduk Irak yang hidup di bawah kemiskinan, Umm Hussein mengandalkan kartu jatahnya untuk makanan.
Di bawah aturan dari tahun 1990-an ketika Saddam Hussein berada di bawah embargo internasional yang ketat, setiap warga Irak yang kepala keluarganya berpenghasilan kurang dari US$ 1.000 per bulan berhak atas ketentuan dasar tertentu dengan harga bersubsidi.
Namun, seorang pria bernama Abu Seif (36) mengungkapkan bahwa ia belum menerima jatah dana subsidinya sejak Februari 2021.
"Kami masih belum mendapatkan jatah untuk Ramadan," ungkap Abu Seif, seperti dilansir AFP, Rabu (14/4/2021).
Saksikan Video Berikut Ini:
Warga Terpaksa Berhutang Demi Membeli Makanan
Perdana Menteri Irak Mustafa al-Kadhemi telah menjanjikan jatah tambahan selama Ramadan.
"Tetapi orang datang atau menelepon setiap hari untuk menanyakan kapan dana akan tiba", kata Abu Seif.
Di toko bahan makanan Abu Ammar, batas kredit telah diperpanjang sehingga dia khawatir tidak dapat membayar pemasoknya lagi.
Dengan harga yang naik tajam, beberapa keluarga berhutang lebih dari 200.000 dinar" ($ 130)," ungkap pedagang tersebut kepada AFP.
Otoritas di Irak yang kaya energi, dengan pendapatan terpangkas oleh penurunan harga minyak dunia, tahun lalu mendevaluasi dinar, yang telah kehilangan 25 persen nilainya terhadap dolar.
Akibat dari itu, misalnya, harga sebotol minyak goreng naik menjadi 2.500 dinar dari harga sebelumnya yang sebesar 1.500 dinar.
Advertisement