Liputan6.com, Jakarta- Ketua Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal menjelaskan bagaimana masyarakat bisa memahami urgensi dari perubahan iklim. Mantan Wakil Menteri Luar Negeri RI (Wamenlu) tersebut, menyebutkan bencana yang terjadi di NTT baru-baru ini sebagai salah satu gejala dari perubahan iklim.
"Melihat apa yang terjadi di Indonesia Timur dengan adanya badai topan siklon seroja, ini pertama kalinya siklon yang biasanya ada di laut kemudian pindah ke daratan, dan mengakibatkan kerusakan yang luar biasa, korban jiwa, kerusakan materi, dan lain sebagainya," kata Dino Patti Djalal, dalam sesi live "Liputan Terkini Dari Berbagai Penjuru" yang digelar Liputan6.com pada Rabu (14/4/2021).
Advertisement
Dino Patti Djalal pun menyayangkan publik masih belum memahami bahwa bencana tersebut adalah dampak langsung dari perubahan iklim.
"Padahal ini sudah dinyatakan langsung oleh BMKG bahwa (bencana) itu adalah salah satu symptom dari perubahan iklim," jelasnya.
"Dan kita juga melihat sejak awal tahun ini sampai sekarang sudah ada sekitar hampir 300 bencana alam, dalam bentuk tanah longsor, hujan yang berlebihan, banjir dan lain sebagainya - hanya dalam waktu 3-4 bulan."
Dino Patti Djalal pun menyebut banyaknya peristiwa itu sudah menjadi the new normal - fenomena yang akan terus terjadi dan bahkan semakin besar dan semakin parah. "Karena ini adalah suatu fenomena global dimana perubahan iklim menciptakan cuaca ektrim, dan cuaca ekstrim ini akan menimbulkan berbagai malapetaka bagi bangsa kita," pungkasnya.
Terkait kampanye Indonesia Emas 2045, Dino Patti Djalal memperingatkan, ancaman utama bagi masyarakat Indonesia pada 2045 - 100 tahun indonesia merdeka, itu adalah ancaman perubahan iklim yang benar-benar luar biasa dan harus kita persiapkan.
Saksikan Video Berikut Ini:
Perubahan Iklim Jauh Lebih Bahaya dari COVID-19
Dino Patti Djalal juga mengatakan bahwa perubahan iklim merupakan fenomena yang jauh lebih bahaya daripada pandemi Virus Corona COVID-19.
"Menurut saya, COVID-19 ini adalah peringatan alam untuk manusia, kita sudah melihat krisis yang luar biasa yang ditimbulkannya. Perubahan iklim ini jauh lebih dahsyat dampaknya, jauh lebih destrustif dibanding COVID-19 yang kita alami sekarang," jelasnya.
Ia pun membeberkan prediksi para ahli, bagaimana bila umat manusia tidak merubah cara hidup mereka, "maka suhu bumi rata-rata akan naik 4 derajat celcius di tahun 2050-an keatas".
"Kalau ditanya, seberapa bahaya, sebagai bandingan: ice age, di bumi itu sebelum ada manusia, hanya 4 degree celcius lebih dingin dari sekarang. jadi bedanya hanya 4 degree celcius tetapi bedanya adalah ice age sama bumi yang hangat, yang normal sekarang," paparnya, seraya menambahkan, "jadi bisa dibayangkan kalau 4 derajat celcius dari sekarang yang akan terjadi di paruhan kedua abad ke-21.
Selanjutnya, Dino Patti Djalal menyampaikan penanda heatwave tahun lalu yang terjadi di India dan Pakistan, yang mencapai 123 derajat celcius.
"Dan ini akan semakin sering terjadi, orang-orang tidak akan bisa keluar rumah, tidak bisa melakukan apa-apa (beraktivitas) tidak bisa berjalan keluar, berekreasi, dan lain sebagainya. Dampaknya pun bukan hanya pada manusia, tetapi juga pada produksi, ekonomi, ekosistem, spesies, dan yang orang-orang bilang satu juta spesies akan punah - ang dinamakan "the sage extinction" jelasnya.
Dino Patti Djalal pun menyebut masalah perubahan iklim, sebagai "the mother of all problem atau biang dari segala masalah".
Advertisement