Gerakan Slow Food, dari Italia Mampir ke Yogyakarta

Capai kemandirian pangan dengan gerakan slow food.

oleh Anugerah Ayu Sendari diperbarui 15 Apr 2021, 11:25 WIB
Slow Food Yogyakarta (sumber: Slow Food Yogyakarta)

Liputan6.com, Yogyakarta Bolu sifon pandan teriris kempuh di sebuah nampan beralaskan daun pisang. Sekilas bolu ini nampak seperti bolu biasa. Bedanya, ia terbuat dari tepung MOCAF (Modified Cassava Flour). Ketika digigit, teksturnya memang tak selembut bolu sifon yang kerap ditemui. Tapi, rasa khas singkong sececah terasa ketika mulai terjamah lidah.

Di sebelah nampan bolu sifon, aroma bolu pisang tercium lembut. Bolu ini juga tak menggunakan tepung terigu. Tepung pisang yang menjadi bahan utamanya memberi legit pisang yang kuat. Bolu sifon dan pisang merupakan dua dari beragam kudapan yang disajikan oleh Lilly T. Erwin. 

Hari itu, Lilly mengagendakan jamuan santai di Omah Garengpoeng, rumah sekaligus penginapan miliknya. Berjarak sekitar 41 kilometer di utara Kota Yogyakarta, tepatnya di Kawasan Wisata Borobudur, Magelang, penginapan Lilly merupakan penginapan sederhana dengan konsep Jawa yang kental. Lilly sendiri merupakan praktisi boga yang berfokus pada kuliner tradisional.

Pada jamuan tersebut, Lily menyajikan makanan-makanan berbasis bahan lokal. Sebut saja olahan tepung MOCAF atau Modified Cassava Flour. Meski namanya terdengar modern, tepung ini terbuat dari tepung singkong yang telah dimodifikasi. Faktanya, tepung ini ditemukan dan dikembangkan di Indonesia.

Selain MOCAF, ada olahan makanan dari tepung lokal seperti pisang, porang, garut, hingga sagu aren. Tepung-tepung ini berasal dari keanekaragaman lokal yang bisa ditemui dengan mudah di alam sekitar. Ini menunjukkan bahwa tanpa tepung terigu pun, aneka pangan tetap bisa dinikmati tanpa mengubah rasa dan kelezatannya.

Tak cuma olahan kue, ada pula olahan jamur tiram yang dimasak dengan beragam versi makanan tradisional seperti rendang, gudeg, dan empal. Ada juga satai tempe lengkap dengan lalapan timun, daun lembayung, dan selada serta sambalnya. Keanekaragaman pangan dan pemanfaatan bahan lokal inilah yang diangkat oleh gerakan Slow Food.

Sebagai praktisi boga yang sudah puluhan tahun berkecimpung dalam dunia kuliner tradisional, Lily merasa terhubung dengan konsep gerakan Slow Food. Baginya, mengonsumsi makanan secara perlahan, dengan bahan-bahan alami yang didapat dari sekitar menjadikan tubuhnya lebih sehat dan sejahtera.

"Slow Food menjadi salah satu pola hidup yang everything making by slow. Jadi semua itu diolah secara konvensional, secara pelan dan tidak menjadi fast food" jelas wanita berusia 71 tahun ini. Menurut Lilly, gaya hidup ini bisa dirasakan langsung pada tubuh.


Mengenal gerakan Slow Food

Anggota Slow Food Yogyakarta saat berkumpul di rumah Lilly T. Erwin. Minggu(4/4/2021) (Foto: Liputan6/Anugerah Ayu)

Slow Food muncul dari sosok Carlo Petrini di Italia pada tahun 1986. Gerakan ini awalnya dibuat sebagai bentuk protes atas keberadaan restoran cepat saji di dekat Spanish Steps, Roma, Italia. Sejak saat itu, Slow Food berkembang menjadi gerakan global yang melibatkan jutaan orang  di lebih dari 160 negara, termasuk Indonesia.

Gerakan Slow Food dibentuk untuk mencegah hilangnya budaya dan tradisi makanan lokal, menangkal munculnya pola hidup yang serba cepat, dan bagaimana pilihan makanan memengaruhi dunia sekitar. Slow Food mengusung keberagaman makanan lokal dan kebaikannya. Konsep Slow Food menyediakan, memproses dan mengonsumsi makanan secara perlahan dan berkelanjutan. Semua ini mengedepankan manfaat nutrisi dan kesehatan dari makanan lokal yang dikonsumsi.

Slow Food adalah suatu gerakan di mana kita yang peduli tentang pangan lokal, tentang sesuatu yang sifatnya di daerah kita sendiri.” Kata Yvonne, salah satu angota Slow Food Yogyakarta saat ditemui di Omah Garengpoeng, Minggu (4/4/2021).

Di Indonesia ada tiga convivia Slow Food; Slow Food Bali, Slow Food Jakarta Urban Area, dan Slow Food Yogyakarta. Slow Food convivia menyelenggarakan acara dan aktivitas di tingkat lokal, mulai dari berkumpul berbagi pengalaman, diskusi, kunjungan ke produsen dan pertanian lokal, konferensi, festival, dan masih banyak lagi. Slow Food Yogyakarta hadir sejak 2013, merupakan conviva Slow Food termuda di Indonesia.

Amaliah merupakan pegiat Slow Food Yogyakarta yang juga aktif memberi edukasi seputar keberagaman pangan. Ia merupakan sosok yang mengawal kegiatan Slow Food sejak awal berdiri pada 2013. Amaliah juga merupakan pendiri KIBOO, sebuah usaha yang bergerak dalam pendampingan keberagaman pangan pedesaan berbasis budaya. Selain itu, Amaliah aktif menjadi pembicara pada berbagai forum nasional dan internasional.

Amaliah sudah banyak mewakili Slow Food Yogyakarta dalam beragam kegiatan Slow Food Internasional. Pada 2016 Amaliah mendampingi Slow Food Banana Community dalam agenda Terra Madre yang diselenggarakan di Italia oleh Slow Food Internasional. Pada tahun 2017, Amaliah juga berhasil meraih penghargaan Eat Local Chalenge 2017 dari Slow Food International.

“Jadi Slow Food itu sebenarnya mengarah kepada kita sebagai satu masyarakat komunitas, memiliki satu anugerah di mana Tuhan pasti memberikan makanan yang sesuai dengan masyarakat atau komunitas tersebut”, pungkas Amaliah saat ditemui di sebuah hotel di kawasan Malioboro, Yogyakarta Jumat(26/03/2021).

Menurut Amaliah, dengan keberagaman, manusia bisa menjadi survive di masa perubahan iklim seperti sekarang ini.


Apa itu Slow Food?

Infografis Slow Food (Liputan6/Anugerah Ayu)

Prinsip Good, Clean, dan Fair

Infografis Slow Food (Liputan6/Anugerah Ayu)

Slow Food memiliki prinsip utama good (baik), clean (bersih), dan fair (adil). Pendekatan Slow Food didasarkan pada konsep makanan yang ditentukan oleh tiga tersebut. Slow Food bekerja untuk memastikan setiap orang memiliki akses ke makanan yang baik, bersih dan adil.

Baik artinya makanan harus berkualitas, lezat, dan sehat. Bersih dimaknai sebagai produksi yang tidak merusak lingkungan. Dalam Slow Food, praktek pertanian, peternakan, pengolahan, pemasaran dan konsumsi berkelanjutan harus benar-benar dipertimbangkan.

Adil berarti harga yang terjangkau bagi konsumen, dan imbalan yang memadai untuk produsen. Konsumsi dalam Slow Food harus disertakan untuk melindungi ekosistem dan keanekaragaman hayati, menjaga kesejahteraan konsumen dan produsen.


Kebalikan dari fast food

Slow Food mengedepankan keberagaman dan keanekaragaman bahan pangan lokal. (Foto: Liputan6/Anugerah Ayu)

Dari sisi nutrisi dan kesehatan, Slow Food secara sederhana bisa disebut kebalikan dari fast food. Sebagian besar fast food tinggi gula, garam, lemak jenuh dan trans, bahan olahan, dan kalori. Makanan cepat saji juga rendah antioksidan, serat, dan nutrisi penting lainnya. Ini memang membuat fast food sangat enak. Tapi, mereka sangat cepat terurai di mulut, tidak perlu banyak dikunyah, dan mengaktifkan pusat reward system di otak dengan cepat. Akhirnya, fast food selalu dikonsumsi berlebihan.

Hasil studi kecil di jurnal Nutrition Research and Practice menyampaikan bahwa makan makanan lebih banyak gula untuk mengawali hari dapat membuat seseorang merasa lebih lapar pada waktu makan berikutnya. Para ahli percaya ini disebabkan karena gula tidak dapat memberikan rasa kenyang atau kepuasan dengan baik. Penelitian pada tahun 2018 dan penelitian sebelumnya, juga menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi fast food dan kejadian kecanduan memakannya.

Journal Health Promotion, mengidentifikasi efek fast food terhadap kondisi kesehatan yang tidak dapat dipulihkan. Ini meliputi risiko obesitas, resistensi insulin, diabetes tipe 2, dan berbagai kondisi jantung.

Menurut International Diabetes Federation (IDF), Indonesia kini berada dalam status waspada diabetes. Pada 2020, Indonesia menempati urutan ke-7 dari 10 negara dengan jumlah pasien diabetes tertinggi. Indonesia juga memiliki kasus obesitas yang tinggi.

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan prevalensi obesitas di Indonesia pada usia di atas 18 tahun sebesar sekitar 21,8%. Menurut data GLOBOCAN WHO tahun 2020, di Indonesia terdapat hampir 400.000 kasus kanker baru dengan lebih dari 230.000 kematian.

Sementara untuk penyakit jantung atau kardiovaskular, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, angka kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah semakin meningkat dari tahun ke tahun. Setidaknya, 15 dari 1000 orang, atau sekitar 2.784.064 individu di Indonesia menderita penyakit jantung. Diabetes, jantung, dan kanker menjadi penyakit tidak menular yang kini paling banyak ditemui.

Gaya hidup terutama makanan, menjadi salah satu faktornya. Rendahnya konsumsi makanan utuh seperti sayuran, buah, dan daging, menyebabkan defisiensi nutrisi. Afifah Kurniati, Ahli Gizi Rumah Sakit UNS, Surakarta mengungkapkan, umumnya fast food atau junk food dalam prosesnya ditambahkan bahan tambahan seperti garam, gula, msg, minyak, pewarna, pengawet dalam jumlah yang besar. Jika dikonsumsi berlebihan, akan mengakibatkan penyakit-penyakit degeneratif.

Ginjal akan bekerja keras untuk menyaring garam mineral, hati akan bekerja lebih keras untuk mencerna lemak. Sementara itu, bila natrium(garam) terlalu tinggi bisa mengakibatkan pengentalan darah, jantung bekerja lebih keras untuk memompa sehingga kadar tekanan darah bisa naik. Sebaliknya, mengonsumsi makanan asli dan beragam yang diproses secara berkelanjutan, mampu memenuhi kebutuhan nutrisi dan meningkatkan kualitas kesehatan.

“Dalam anjuran pesan gizi seimbang, masyarakat diharuskan untuk mengonsumsi makanan yg beraneka ragam bukan tanpa alasan, ini karena memang tidak ada satu bahan makanan yang mempunyai zat gizi yang komplit atau yg langsung bisa memenuhi kebutuhan di tubuh. Sehingga perlunya makan beraneka ragam makanan, sesuai kebutuhan tubuh.” papar Afifah saat dihubungi secara daring melalui pesan WhatsApp Rabu(7/4/2020) .

Slow Food mengedepankan kualitas ketimbang kuantitas makanan. Slow Food yang berasal dari keanekaragaman hayati membuatnya padat nutrisi. Dalam Slow Food, semua berjalan perlahan sebagaimana mestinya alam mengambil peran.

Dari mulai bahan makanan ditanam oleh petani secara konvensional, dipanen, diolah, dikonsumsi, hingga kemudian dicerna tubuh. Slow Food hadir untuk mempromosikan model produksi, pemrosesan, dan konsumsi yang berkelanjutan dan sesehat mungkin.


Fokus edukasi tentang keberagaman pangan

Slow Food Yogyakarta juga berfokus mengedukasi keberagaman pangan pada masyarakat, terutama generasi muda. Menurut Amaliah, pangan sebagai kebutuhan utama sehari-hari perlu mendapat perhatian penuh dalam segi kualitasnya. Pengetahuan akan keberagaman pangan harus jadi bagian dari didikan masyarakat Indonesia.

“Di Slow Food kita mengajarkan keberagaman. Kalau kita sudah biasa makan makanan yang beragam, jika tidak ada beras, oke masih ada singkong, jika tidak ada singkong, masih ada jagung. Itu yang diangkat oleh Slow Food dengan basis good, clean, dan fair.” papar Amaliah yang sudah enam tahun mengajar pendidikan pangan di Tumbuh High School, Yogyakarta.

Bagi Amaliah, Pendidikan pangan bukan hanya tentang memasak, tapi mengetahui asal usul makanan, sejarah, dan pendidikan rasa. Di Slow Food, terdapat istilah Ark of Taste atau Bahtera Rasa. Ark of Taste merupakan katalog yang berisi makanan yang menjadi bagian budaya dan tradisi dan sudah terancam punah.

Ark of Taste dibentuk untuk menunjukkan keberadaan produk, menfokuskan perhatian akan risiko kepunahan suatu produk dan mengundang semua orang untuk melakukan aksi nyata dalam perlindungan mereka. Aksi ini seperti mencari produk tersebut, membeli, mengonsumsi, menceritakan kisahnya, dan mendukung para produsennya.

Tercatat ada 55 Ark of Taste yang didaftarkan conviva Indonesia di Slow Food Internasional. Beberapa Ark of Taste dari Indonesia dikumpulkan oleh Slow Food Yogyakarta. Ini seperti tempe benguk, gatot, gayam, geblek, growol, patilo dan beberapa jenis pisang.

Selain Ark of Taste, ada juga presidia. Presidia adalah suatu proyek dimana Slow Food bekerja dengan sejumlah grup/kelompok produsen berskala kecil untuk memecahkan kesulitan yang mereka hadapi, menggabungkan produsen-produsen yang terpencil dan menghubungkan mereka dengan pasar alternatif yang lebih peka dengan situasi mereka.

Di Yogyakarta, ada Komunitas Slow Food yang berfokus pada presidia pisang. Komunitas ini melakukan pendampingan terhadap budidaya pisang Kelompok Tani Pisang di desa Samiran, Kretek, Bantul. Komunitas Slow Food juga menggandeng Mbah Lasiyo yang dikenal sebagai Profesor Pisang. Pisang dipilih karena merupakan tumbuhan asli Indonesia. Dari 66 jenis pisang di dunia, ada 12 jenis di Indonesia dan paling sedikit ada 15 varietas pisang liar yang tersebar di seluruh negeri.

Pisang juga menjadi bagian dari adat dan budaya masyarakat Indonesia. Hingga kini, pisang selalu hadir dalam acara-acara budaya seperti pernikahan, syukuran, kelahiran, dan lain sebagainya. Komunitas Slow Food berupaya untuk mengangkat dan mendampingi budidaya pisang dengan basis good, clean, dan fair.


Angkat kemandirian pangan

Anggota Slow Food Yogyakarta (sumber: Slow Food Yogyakarta)

Data Badan Ketahanan Pangan menunjukkan, Indonesia memiliki 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat, 75 jenis sumber minyak atau lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, dan 110 jenis rempah dan bumbu. Ini menjadi satu kesempatan Slow Food untuk mengangkat keberagaman yang dimiliki Indonesia.

Menurut Amaliah, masyarakat global sekarang menuju ke arah penyeragaman rasa dan bahan baku. Mekanisasi pada akhirnya menjadi musuh dari keanekaragaman. Inilah yang masih menjadi kesalahan sistem pangan saat ini. Hal ini juga yang berusaha dilawan oleh Slow Food.

Slow Food juga punya misi penting dalam melestarikan keanekaragaman hayati. Slow Food bukan cuma menyoal kuliner atau makanan sehari-hari yang dimasak oleh ibu di rumah. Konsep Slow Food meluas dari makanan, ke pengangkatkan keanekaragaman hayati, hingga merambat ke kemandirian dan ketahanan pangan.

Slow Food percaya bahwa makanan terkait dengan banyak aspek kehidupan lainnya, termasuk budaya, politik, pertanian, dan lingkungan. Melalui pilihan makanan, seseorang secara kolektif dapat menjadi pengaruh bagaimana makanan dibudidayakan, diproduksi, didistribusikan, dan sebagai hasil yang mengubah dunia.

“Di Slow Food, kita sebagai konsumen itu menjadi bagian dari kemandirian komunitas setempat. Jadi makan itu tidak sekadar mencari profit atau komersil tapi menjadi kebutuhan dasar hidup kita.” Pungkas Amaliah yang juga merupakan bagian tim penulis buku terkait pendidikan pangan dan gastronomi indonesia.

Dosen Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Dr. Dwi Larasatie Nur Fibri, STP., M.Sc, mengungkapkan konsep Slow Food sangat sejalan dengan langkah kemandirian dan ketahanan pangan. Dengan gaya hidup Slow Food, makanan tidak hanya berfungsi sebagai pemuas, melainkan juga memiliki fungsi sosial.

“kita manusia makan sesuatu tidak hanya sekadar kenyang saja. Tapi kita tahu seluk beluk dari makanan itu sehingga kita ada koneksi dengan makanan itu. Itu yang dijunjung oleh Slow Food. Dengan adanya good, clean and fair, kita tahu asal muasal makanan kita, kita tahu rantai distribusinya bagaimana, sejauh apa, sehingga kita akan lebih terkoneksi dengan pihak-pihak yang menyediakan pangan kita.” paparnya Ketika dihubungi secara daring melalui Google Meets Minggu(4/4/2021).


Makanan sehat bisa didapat dengan mudah dan murah

Ilustrasi makanan sehat (Liputan6/Anugerah Ayu)

Salah satu prinsip dari konsep Slow Food adalah fair atau adil. Artinya, baik konsumen dan produsen mendapatkan hak yang sama. Konsumen mendapat pangan yang baik dan bersih dengan harga murah. Sementara produsen mendapat imbalan yang sesuai.

Menurut Dwi, dari segi ekonomi, Slow Food bisa menjadi sebuah gaya hidup. Makanan lokal tak harus mahal dengan branding “lokal” atau “organik”.  Jika Slow Food benar-benar diterapkan, dengan menilik sekitar, seseorang sudah bisa memenuhi kebutuhan makanan sehatnya lewat pangan lokal di sekitarnya.

“Sebenarnya pangan lokal itu kita branding sehingga jadi lebih mahal. Tetapi kalau kita tidak makan brand, tapi kita mengetahui asal usul (makanan yang kita makan), kita bisa mendapatkan sumber-sumber pangan yang lebih terjangkau. Kalau kita tahu sekeliling kita siapa, menanam apa, kita bisa beli dari mereka” Jelasnya.

Pernyataan Dwi juga seia dengan Amaliah. Menurut Amaliah, makanan sehat tidak harus berlabel organik. Ini karena label organik sebenarnya identik dengan sertifikasi. Padahal, makanan sehat dari bahan yang ditanam atau dibudidayakan secara konvensional di sekitar, tak semua punya sertifikasi organik.

“Makanan sehat yang penting tahu asal usulnya, tidak harus berlabel organik. Yang penting kita tahu bagaimana makanan itu lahir dan pastinya harus berkelanjutan, adil pada semua pihak dan beragam.” ujar Amaliah.

Dengan makanan sehat yang mudah dijangkau, berkelanjutan, dan seimbang, masyarakat akan mampu mencapai kedaulatan pangannya.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya