Liputan6.com, Jakarta - Dua studi baru menemukan bahwa varian COVID-19 yang berasal dari Inggris atau B.1.17 tampaknya tidak menyebabkan penyakit atau kematian yang lebih parah.
Temuan ini bertentangan dengan beberapa penelitian awal dari pejabat kesehatan Inggris yang menyatakan varian tersebut lebih mematikan. Meskipun studi tersebut juga menyebutkan varian Virus Corona B117 lebih dapat ditularkan daripada strain aslinya.
Advertisement
Dalam temuan kali ini, rekan peneliti, Mark Graham dari King's College London menyatakan bahwa studinya menunjukkan bahwa meskipun varian B.1.1.7 lebih mudah menyebar, varian tidak mengubah jenis atau durasi gejala yang dialami. "Sehingga kami percaya vaksin saat ini dan tindakan kesehatan masyarakat cenderung tetap efektif melawannya," katanya, dikutip dari Livescience.
B.1.1.7 pertama kali muncul di Inggris pada September 2020 dan sejak itu menyebar ke seluruh dunia. Banyak penelitian menemukan bahwa varian itu lebih mudah ditularkan; dan pada Januari, pejabat Inggris mengatakan ada beberapa bukti awal bahwa varian itu juga lebih mematikan. Namun, saat itu, para pejabat menegaskan bahwa datanya terbatas dan masih belum pasti.
Sedangkan dalam studi yang dilakukan Graham, yang diterbitkan Senin (12 April) di jurnal The Lancet Public Health, ia dan rekannya menganalisis informasi dari hampir 37.000 orang di Inggris yang dites positif COVID-19 antara September dan Desember 2020 dan melaporkan gejala melalui aplikasi seluler bernama aplikasi COVID Symptom Study.
Kemudian para peneliti menggabungkan informasi ini dengan data pengurutan genetik dari COVID-19 UK Genetics Consortium dan Public Health England, yang menunjukkan berapa banyak kasus COVID-19 di suatu daerah yang disebabkan oleh B.1.1.7 atau jenis lainnya.
Para peneliti menemukan tidak ada hubungan antara proporsi kasus B.1.1.7 di suatu wilayah dan gejala yang dialami orang, bahkan di tempat-tempat yang mengalami peningkatan kasus B.1.1.7 terbesar selama masa studi, seperti London dan South East England.
Hasil studi juga menunjukkan tidak ada hubungan antara proporsi infeksi B.1.1.7 di suatu daerah dan proporsi orang yang mengalami COVID-19 jangka panjang, yang didefinisikan oleh penelitian sebagai gejala yang berlangsung selama lebih dari 28 hari.
Tetapi peneliti studi menemukan bahwa B.1.1.7 meningkatkan jumlah reproduksi dasar, atau rata-rata jumlah orang yang tertular virus dari satu orang yang terinfeksi, sebesar 1,35 kali, dibandingkan dengan strain asli, yang serupa dengan estimasi studi sebelumnya.
Simak Video Berikut Ini:
Tidak ada hubungan antara strain dan tingkat keparahan penyakit
Lalu dalam studi kedua yang diterbitkan Senin di jurnal The Lancet Infectious Diseases, para peneliti menganalisis informasi dari 341 pasien COVID-19 yang dirawat di University College London Hospital dan North Middlesex University Hospital di Inggris, antara November dan Desember 2020. Peneliti menemukan sebanyak 58% dari pasien-pasien ini terinfeksi varian B.1.1.7 dan 42% terinfeksi strain lain.
Selain itu, peneliti juga menemukan tidak ada hubungan antara strain dan tingkat keparahan penyakit. Yaitu pada kelompok B.1.1.7, sekitar 20% dari semua pasien menjadi sakit parah dan 16% dari semua pasien meninggal; sedangkan pada kelompok non-B.1.1.7, 20% dari semua pasien menjadi sakit parah dan 17% dari semua pasien meninggal.
Studi ini dilakukan dengan memperhitungkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat keparahan penyakit, termasuk usia, jenis kelamin dan kondisi kesehatan yang mendasarinya. Para peneliti penelitian menemukan bahwa pasien dengan B.1.1.7 cenderung memiliki viral load yang lebih tinggi, atau tingkat virus di hidung dan tenggorokan mereka, dibandingkan dengan orang yang terinfeksi dengan jenis lain, yang dapat berperan dalam penularan B.1.1.7 yang lebih besar.
Meskipun kedua studi tersebut memiliki keterbatasan, namun menurut Dr. Sean Wei Xiang Ong, dari National Center for Infectious Diseases di Singapura, studi tersebut menguatkan hasil pengamatannya bahwa penularan terjadi melalui kontak pernapasan. Maksudnya semakin banyak orang dalam populasi yang berinteraksi tanpa pedoman jaga jarak, memakai masker dan menjaga sanitasi tangan, semakin mudah penularan COVID-19.
Adapun keterbatasan kedua studi tersebut, meskipun Studi Lancet Public Health cukup besar, namun itu didasarkan pada gejala yang dilaporkan sendiri oleh orang-orang dan para peneliti tidak dapat menentukan pengguna mana yang pasti terinfeksi B.1.1.7. Sedangkan studi yang dari Lancet Infectious Diseases para peneliti dapat melihat informasi rinci seperti strain pasien mana yang terinfeksi, tetapi studi tersebut relatif kecil dan membutuhkan konfirmasi lebih lanjut dalam studi yang lebih besar, jelas Ong dan rekannya.
Selain itu, studi tersebut tidak dapat menentukan apakah orang dengan B.1.1.7 lebih mungkin dirawat di rumah sakit dibandingkan dengan jenis lain, karena penelitian hanya melibatkan pasien rawat inap
Advertisement