Liputan6.com, Jakarta Polemik Vaksin Nusantara yang diprakarsai mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto terus bergulir. Ada pandangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dianggap tidak mendukung pengembangan vaksin berbasis sel dendritik ini.
Ada juga anggapan BPOM tidak terbuka dan 'pilih kasih' terkait pengembangan Vaksin Nusantara. Dalam beberapa kali rapat dengan Komisi IX DPR RI, anggota pun mempertanyakan lebih rinci, bagaimana kelanjutan uji klinik Vaksin Nusantara dan meminta hasil komunikasi antara BPOM dan Tim Peneliti.
Advertisement
Kepala BPOM Penny K. Lukito pun menanggapi, pihaknya tidak pernah pilih kasih dalam pengembangan vaksin dalam negeri. BPOM bekerja terbuka dan independen terhadap pembuatan vaksin dengan tetap mengutamakan Good Clinical Practical/GMP, Proof of Concept, Good Laboratory Practice/GLP, dan Cara Pembuatan Obat yang Baik (Good Manufacturing Practice/GMP).
Terkait Vaksin Nusantara, BPOM juga sudah melakukan pengawalan. Komunikasi terus dijalin BPOM dengan Tim Peneliti Vaksin Nusantara. BPOM memberikan masukkan agar Tim Peneliti melengkapi sejumlah data uji praklinik dan uji klinik fase 1.
Penelitian Vaksin Nusantara dilakukan oleh tim peneliti dari Balitbangkes Kementerian Kesehatan, RSPAD Gatot Subroto, RSUP Dr. Kariadi dan Universitas Diponegoro. Penelitian disponsori PT. Rama Emerald/PT. AIVITA Indonesia bekerja sama dengan Balitbangkes Kemenkes.
Sebagai gambaran lebih rinci, berikut ini Kronologis Pengawalan Vaksin Nusantara oleh BPOM sesuai keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com, Rabu, 14 April 2021:
1. Peneliti pada awalnya mengajukan 1 protokol untuk semua tahapan uji klinik fase 1, fase 2, dan fase 3 pada 23 November 2020, namun tidak disetujui oleh BPOM karena tidak sesuai dengan standar tahapan pengembangan obat dan vaksin. Untuk itu, uji klinik vaksin dendritik harus dilaksanakan mulai fase 1 terlebih dahulu sebelum fase 2 dan fase 3.
2. Pengajuan uji klinik fase 1 dilakukan pada 30 November 2020, namun tidak disertai dengan data pengujian pre klinik. BPOM meminta peneliti menyerahkan laporan studi toksisitas, imunogenisitas, penggunaan adjuvant, dan studi lain yang mendukung pemilihan dosis dan rute pemberian, mengingat produk jadi mengandung Spike SARS-CoV-2 yang diperoleh terpisah dari sel dendritik.
Akan tetapi, permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh peneliti dan sponsor dengan justifikasi:
Penggunaan sel dendritik sudah lama digunakan dan aman pada manusia, bersifat autologous--sel punca yang diambil dari organ tubuh pasien sendiri--dan tidak menggunakan zat tambahan lain. Dosis dan toksisitas merujuk pada hasil uji klinik untuk indikasi lain.
Hal ini tidak sesuai karena sel dendritik selama ini digunakan terapi kanker, bukan untuk vaksin atau pencegahan penyakit. Selain itu, penggunaan sel dendritik pada vaksin ditambahkan antigen virus (bagian dari virus SARS CoV-2) dan zat tambahan lainnya menjadikan sel dendritik menjadi vaksin.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan Video Menarik Berikut Ini:
Tim Peneliti Vaksin Nusantara Diminta Pastikan Jaminan Mutu dan Keamanan
3. Tanggal 1 Desember 2020, BPOM menerbitkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinik fase 1. Mempertimbangkan aspek keamanan pada subjek dan tidak tersedianya uji pra klinik, maka Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) ditambahkan ketentuan khusus, di antaranya:
a. Sebelum uji klinik dilaksanakan, fasilitas pengolahan produk harus memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) atau memiliki penjaminan mutu untuk menghindarkan risiko produk yang tidak memenuhi persyaratan mutudan keamanan.
b. Pada proses informed consentharus dijelaskan kepada calon subjek bahwa uji klinik merupakan penelitian first in human dan uji yang sebelumnya dilakukan adalah uji in vitro.
c. Saat pelaksanaan uji klinik, peneliti diminta memastikan jaminan mutu dan keamanan produk uji dengan melakukan pengujian untuk setiap produk yang akan digunakan sesuai dengan spesifikasi produk yang telah ditetapkan (Sterilitas, Mycoplasma, Endotoksin, Jumlah sel, Viabilitas dan Identifikasi).
Peneliti diminta identifikasi impurities (spike SARS-CoV-2), yang seharusnya tidak terdeteksi dalam produk akhir, melakukan rekrutmen untuk setiap 3 subjek, dimulai dari konsentrasi Spike SARS-CoV-2 terkecil (0,1 mcg) tanpa GM-CSF dilanjutkan dengan peningkatan konsentrasi GM-CSF pada konsentrasi Spike SARS-CoV-2 yang sama.
Kemudian dilakukan prosedur yang sama untuk konsentrasi Spike SARS-CoV-2 yang lebih besar. Peneliti harus memastikan peran Data Safety Monitoring Board (DSMB) yang berkesinambungan dan inpenden, dengan perhatian khusus untuk melakukan analisis interim untuk setiap 3 subjek yang diinklusi dimulai konsentrasi Spike SARS-CoV-2 terkecil (0,1 mcg) tanpa GM-CSF dilanjutkan peningkatan konsentrasi GM-CSF pada konsentrasi Spike SARS-CoV-2 yang sama.
Selanjutnya, dilakukan prosedur yang sama untuk konsentrasi Spike SARS-CoV-2 yang lebih besar.
Advertisement
Data Uji Klinik Fase 1 Vaksin Nusantara Berubah-ubah
4. Ketentuan PPUK tidak dilaksanakan dengan baik oleh Peneliti. Hal ini diketahui saat inspeksi ke fasilitas pengolahan belum memenuhi persyaratan CPOB, pelaksanaan uji klinik tidak dilakukan bertahap pada 3 subjek, tidak ada review DSMB pelaksanaan uji klinik fase 1, serta pengujian mutu tidak dilakukan untuk setiap produk.
5. Pada 14-15 Desember 2020, BPOM melakukan inspeksi ke center uji klinik RSUP dr Kariadi dan terdapat temuan yang bersifat critical dan major yang harus diperbaiki.
6. Uji Klinik fase 1 dilakukan di RSUP Dr. Kariadi sejak 22 Desember 2020, dengan jumlah subjek penelitian sebanyak 28 orang.
Pada 15 dan 29 Januari, 9 dan 18 Februari 2021, peneliti menyampaikan hasil data interim uji klinik fase 1 berupa pengamatan keamanan 14 hari dan imunogenisitas selama 1 bulan setelah pemberian vaksin uji.
Sayangnya, menurut BPOM, data yang disampaikan berubah-ubah.
Data Uji Klinik Vaksin Nusantara Masih Diperlukan Klarifikasi
7. Data interim uji klinik fase 1 yang diterima oleh Badan POM telah dievaluasi dan dibahas bersama Tim KOMNAS Penilai Obat, dan juga para ahli ad-hoc di bidang vaksin (Tim dari ITAGI, Dokter spesialis Alergi Imunologi, Ahli Biologi Molekular).
Kesimpulannya, masih diperlukan klarifikasi dan tambahan data mengenai beberapa hal, antara lain:
a. Data keamanan dan imunogenisitas
b. Permintaan pengukuran imunogenisitas sesuai parameter endpoint protokol-Ketidaksesuai pelaksanaan uji kinik dengan standar Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) atau Good Clinical Practice (GCP)
c. Pemenuhan aspek Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) atau Good Manufacturing Practice (GMP) dan Good Laboratory Practice (GLP).
Oleh karena itu, tanggal 24 Februari 2021, BPOM menyampaikan hasil rapat pembahasan evaluasi hasil interim uji klinik fase 1 dan meminta peneliti memberikan klarifikasi dalam forum dengar pendapat peneliti kepada BPOM dan tim KOMNAS penilai obat serta tim ahli terkait.
Advertisement