Liputan6.com, Jakarta - Tak banyak yang tahu kalau Indonesia ternyata penghasil vanila kedua terbesar di dunia setelah Madagaskar. Namun sayangnya, harta karun ini redup gegara anjloknya harga dan juga adanya produk sintetis.
Akibatnya, vanila atau yang biasa disebut juga dengan vanili yang kita kenal saat ini lebih banyak bentuk esens yang sudah tercampur zat lain. Tidak banyak yang tahu kalau vanila asli warnanya gelap dan bentuknya polong.
Advertisement
Lidya Angelina Rinaldi pun tergerak. Ia melihat potensi vanili di Indonesia sebenarnya besar dan ia pun mendirikan UMKM penghasil ekstrak vanili asli, La Dame in Vanilla. Tapi, besar atau kecil skala bisnisnya, rintangan selalu memperlihatkan taringnya.
"Waktu itu saya telepon Dinas Pertanian dan Perkebunan tanya stok vanili karena sudah langka di pasaran. Ternyata, sudah tidak ditanam lagi. Akhirnya, saya datangi petani dan berbicara dengan mereka," ujar Lidya kepada Liputan6.com, seperti ditulis Kamis (15/4/2021).
Lidya terjun langsung untuk mengetahui latar belakang langkanya produksi vanili saat itu. Alasannya miris; harganya jatuh dan penjualannya suram. Bahkan, vanili Indonesia sempat terpuruk karena kualitasnya turun drastis.
"Ini sayang banget, dan saya rasa saya harus mengajak mereka menanam kembali dan menghidupkan kembali vanili Indonesia," ujarnya.
Bukan cuma itu, para petani sempat meragukan niat Lidya hanya karena dirinya orang lokal. Usut punya usut, vanila memang jadi komoditas yang laris bagi para ekspatriat untuk diolah dan diimpor kembali ke Indonesia.
"Akhirnya saya ajak, 'udah, bapak tanam aja, pelan-pelan harga akan mengikuti'. Itu janji saya ke petani. Jadi backbone kita, benar-benar petani," ceritanya.
Tentu saja, usaha merangkul para petani tidak semudah mengumpulkan niatnya. Lidya mencoba membangun ikatan dengan para petani. Tidak hanya berkomunikasi secara business to business, La Dame in Vanilla juga memberi kontribusi bagi kesejahteraan para petani.
"Farmers are like our family. Bahkan di saat awal-awal, kita nggak 'bapak tanam, panen, saya beli'. Kita approach ke personal life, kayak, saya waktu datang ke desa sulit air, kita bikin saluran airnya. Lalu saat bekerja ke kebun yang agak naik ke atas, kita buatkan jalannya. Tidak mewah, tapi cukup, dan layak," katanya.
Kontribusi ini membuat para petani merasa memiliki ikatan yang lebih dari sekadar antara penjual dan pembeli. Loyalitas petani yang didapatkan juga membantu La Dame in Vanilla mendapatkan pasokan bahan baku yang berkelanjutan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Dukungan Keluarga
Usaha Lidya tentu memiliki target. Mimpi yang tidak mustahil, namun tidak mudah diwujudkan: mengenalkan vanila asli Indonesia di dunia. Dalam merealisasikannya, butuh curahan waktu, tenaga dan perhatian yang besar.
Dukungan keluarga tak luput ia dapatkan. Orang tua jadi support system terbesar dalam usaha yang dilakoninya, meskipun di awal merintis La Dame in Vanilla, Lidya mendapat penolakan karena masa depan usahanya yang masih abu-abu.
"Awalnya mereka cukup sedih. Karena sayang dengan gaji di pekerjaan saya. Udah disekolahin tinggi-tinggi, malah mau usaha nggak jelas karena, kan, vanila harganya murah, orang belum tentu pakai," katanya.
Kendati, melihat perkembangan usaha La Dame in Vanilla, perlahan restu orang tua bisa didapat. Terlebih, orang tua Lidya juga senang berdagang.
Pernah suatu ketika, kemalangan menghampiri bisnis Lidya. Bukannya untung, Lidya harus merogoh kocek dalam karena berurusan dengan administrasi pengiriman paket produknya.
"Pernah ditipu, rugi pernah, ada masa gagal panen. Bahkan kita happy dapat orderan dari luar negeri, kita kirim, ternyata ada masalah dengan payment, akhirnya berurusan dengan polisi di sana, itu sempat jadi titik terendah saya. I'm give up," kata Lidya.
Advertisement
Bangkit Kembali
Dengan tenang, sang ayah dan ibunda memberinya wejangan untuk mengikhlaskan kerugian yang terjadi.
"Jawaban beliau bikin saya nyesek. 'Berapa sih ruginya? Oh, mungkin Diong (panggilan akrab Lidya di keluarga) kurang sedekah,' jadi jawabannya gitu. Yang namanya usaha, begitu, kita harus kuat, kalau usaha gampang, semua akan jadi pengusaha," cerita Lidya menirukan orang tuanya.
Di saat itulah, Lidya menyadari, meski ada di titik terendah, dia tidak akan menyerah. Meski hampir menyerah, tanggung jawab terhadap petani, pekerja, dan usahanya sendiri membantu Lidya bangkit kembali.
"Jadi kalau ditanya, siapa sih yang berpengaruh? My parents. Di kala saya jenuh, saya akan kembali ke mereka. Dan saya rasa, usaha akan lancar kalau dapat dukungan dan restu dari orang tua," tandasnya.