PT ACK Sengaja Buat Rekening BCA untuk Menampung Suap Edhy Prabowo

Edhy Prabowo didakwa menerima suap USD 77 ribu dan Rp 24,6 miliar untuk mempercepat izin ekspor benih lobster di KKP.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 15 Apr 2021, 13:45 WIB
Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango (ketiga kiri) bersama petugas menunjukkan barang bukti terkait penetapan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo sebagai tersangka kasus dugaan suap calon eksportir benih lobster di Gedung KPK Jakarta, Rabu (25/11/2020). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo didakwa menerima suap sebesar USD 77 ribu dan Rp 24,6 miliar. Suap diberikan agar Edhy mempercepat proses perizinan ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terungkap bahwa Bank Central Asia (BCA) menjadi sarang penampungan uang suap dari para eksportir yang mendapat izin ekspor benih lobster.

Rekening bank BCA itu dibikin atas nama PT Aero Citra Kargo (ACK), perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa pengiriman kargo. Awalnya perusahaan ini tidak aktif, namun diaktifkan kembali dan tercatat sebagai perusahaan forwarder ekspor lobster.

Komposisi perusahaan pun diubah kepengurusannya yakni dengan memasukkan nama Nursan dan Amri yang merupakan representasi Edhy Prabowo. PT ACK, disebut bekerja sama dengan PT Peristhable Logistic Indonesia (PT PLI) terkait ekspor ini.

PT PLI yang mengurus seluruh kegiatan ekspor benur, sedangkan PT ACK hanya sebagai perusahaan yang melakukan koordinasi dengan perusahaan eksportir dan menerima keuntungan.

Dalam kerja sama itu, ditetapkan bahwa biaya ekspor benur yakni sebesar Rp 1.800 per-ekor dengan pembagian PT PLI mendapatkan biaya operasional pengiriman sebesar Rp 350 per-ekor, sementara PT ACK mendapatkan sebesar Rp 1.450 per-ekor.

"Yang mana biaya yang telah ditetapkan dan diterima PT. ACK tersebut dibagi seolah-olah dalam bentuk deviden kepada para pemegang saham sesuai dengan persentase kepemilikan sahamnya yang merupakan representasi dari terdakwa (Edhy Prabow) dan Siswhadi Pranoto Loe," ujar jaksa membacakan dakwaan Edhy Prabowo di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (15/4/2021).

Jaksa menyebutkan Pada tanggal 11 Juni 2020, PT ACK membuka rekening giro di Bank BCA dengan setoran awal Rp 1 juta. Rekening tersebut bertujuan untuk menerima seluruh uang biaya ekspor benur.

"Pembuatan rekening ini dilakukan satu hari sebelum pendapatan jasa pengiriman benih bening lobster pertama pertama diterima PT ACK pada tanggal 12 Juni 2020," kata jaksa.

Sejak bulan September 2020 sampai dengan bulan November 2020, PT. Dua Putera Perkasa Pratama (PT. DPPP) telah melakukan ekspor lonster ke Vietnam sebanyak kurang lebih 642.684 ekor dengan menggunakan jasa kargo PT ACK. Total ditransfer kepada PT ACK melalui Bank BCA Cabang KCP Pondok Gede Plaza Bekasi sejumlah Rp 940.404.888.

Jaksa mengungkapkan, setelah dipotong pajak dan biaya materai kemudian diberikan kepada PT PLI sejumlah Rp 224.933.400 sebagai bagian dari kerjasama PT ACK dan PT PLI.

"Sehingga uang yang diterima oleh PT. ACK adalah sejumlah Rp 706.001.440," kata jaksa.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Dakwaan Edhy Prabowo

Menteri Kelautan dan Perikanan non aktif, Edhy Prabowo bersiap menjalani pemeriksaan di Gedung KPK Jakarta, Jumat (4/12/2020). Sebelumnya, Edhy ditangkap dan ditahan KPK sebagai tersangka kasus dugaan suap penetapan calon eksportir benih lobster pada Rabu (25/11). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Diberitakan Edhy Prabowo didakwa menerima suap sebesar USD 77 ribu atau sekitar Rp 1,1 miliar dan Rp 24.625.587.250 oleh tim jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Jika ditotal, dugaan suap yang diterima Edhy sebesar Rp 25,7miliar. Suap berkaitan dengan pengurusan izin ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

"Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, telah menerima hadiah atau janji," ujar Jaksa Ali Fikri dalam dakwaannya di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (15/4/2021).

Jaksa menyebut, Edhy Prabowo menerima USD 77 ribu dari pemilik PT. Dua Putera Perkasa Pratama (PT. DPPP) Suharjito. Edhy menerima uang tersebut melalui Amiril Mukminin selaku sekretaris pribadinya, dan Safri yang merupakan Staf Khusus Menteri dan Wakil Ketua Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster.

Pemberian uang tersebut dilakukan pada 16 Juni 2020 di di Kantor KKP Gedung Mina Bahari IV Lantai 16. Uang diberikan Suharjito kepada Safri sambil mengatakan 'ini titipan buat Menteri'. Selanjutnya Safri menyerahkan uang tersebut kepada Edhy Prabowo melalui Akiril Mukminin.

Sementara penerimaan uang sebesar Rp 24.625.587.250 diterima Edhy dari para eksportir benur lainnya. Namun jaksa tak menyebut siapa saja eksportir tersebut. Jaksa hanya menyebut uang itu diterima Edhy melalui Amiril Mukminin, Ainul Faqih selaku staf pribadi Iis Rosita Dewi (anggota DPR sekaligus istri Edhy Prabowo), Andreau Misanta Pribadi selaku Staf Khusus Menteri dan Ketua Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster, dan Siswandhi Pranotoe Loe selaku Komisaris PT Perishable Logistic Indonesia (PT PLI) dan pemilik PT Aero Citra Kargo (PT ACK).

Jaksa menyebut, pemberian suap dilakukan agar Edhy mempercepat proses persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor BBL kepada PT. DPPP dan para eksportir BBL lainnya yang bertentangan dengan kewajiban Edhy sebagai menteri.

"Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yaitu dengan maksud supaya terdakwa bersama-sama Andreau Misanta Pribadi dan Safri mempercepat proses persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor BBL kepada PT. DPPP dan para eksportir BBL lainnya," kata Jaksa.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya