Liputan6.com, Jakarta - Umumnya, hemofilia atau kelainan pembekuan darah diwariskan dari orangtua. Penyakit ini seringkali terdeteksi ketika seseorang masih usia kanak-kanak.
Hafizh Kalamullah yang mengalami hemofilia sejak kecil paham betul bagaimana sulitnya tumbuh besar dengan penyakit ini. Dalam diskusi daring yang diselenggarakan oleh Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) pada Kamis, 15 April 2021, pria kelahiran 1991 ini divonis mengidap hemofilia pada 1992.
Advertisement
Menurut Hafizh, masa kecil anak dengan hemofilia cukup menantang.
“Masa kecil anak hemofilia mungkin yang paling menantang karena dia gak bisa banyak main, tapi (meski) sudah enggak main pun, kalau hemofilia berat itu bisa pendarahan spontan. Jadi, tanpa kebentur pun sudah bisa bengkak juga,” kata Hafizh.
Hafizh menyebut bahwa orang dengan hemofilia mudah berdarah atau lebam. Ketika ada aktivitas fisik yang cukup berat, ketika terjatuh sedikit, mungkin anak-anak lain masih bisa lanjut berlari. Namun, bagi penderita hemofilia, sangat mungkin untuk mengalami bengkak.
Hafizh kecil pun sering membanding-bandingkan dirinya dengan teman seusianya. Namun, ketika beranjak dewasa, dia sudah bisa mengatur aktivitasnya sendiri. Hafizh harus membagi waktu antara melakukan pengobatan dan menjalani kegiatan sehari-harinya.
“Seninya itu mengatur jadwal kapan harus ke rumah sakit urus obat, kapan harus beraktivitas seperti orang normal, dalam hal ini harus sekolah, kuliah, kemudian bekerja,” ujar Hafizh.
Dia pun berhasil menyelesaikan pendidikannya dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia. Ketika mencari kerja, Hafizh tetap bisa bekerja secara normal, meski harus mencari pekerjaan yang tidak memberatkan fisiknya. Beruntung, kini dia dikaruniai anak laki-laki yang sehat.
Simak Juga Video Berikut
Kemajuan Pengobatan Hemofilia
Dari pengalamannya, Hafizh melihat pengobatan hemofilia sudah mengalami kemajuan. Dari yang sebelumnya mengandalkan transfusi darah, kini ada obat konsentrat yang pemakaiannya mirip dengan penyuntikan insulin pada penderita diabetes.
Hafizh menceritakan dengan pengobatan yang masih mengandalkan tranfusi darah, dia merasa masa kecilnya sangat berat.
“Mungkin kalau dibilang masa masa awal pertumbuhan menjadi anak hemofilia, ketika pengobatannya masih plasma atau labu darah itu berat banget,” katanya.
“Jadi, lebih banyak bolos sekolahnya daripada bisa sekolah dan bermain sama temen-temen,” Hafizh melanjutkan.
Hafizh berharap pengobatan hemofilia masih dapat dikembangkan lagi agar kualitas hidup penderitanya juga semakin membaik.
“Generasi selanjutnya, di mana anak hemofilia yang lahir berikutnya itu semakin dapat kesempatan berobat yang lebih baik, sehingga tumbuhnya lebih sehat dan hidupnya juga bisa berkualitas seperti orang normal," katanya.
Penulis: Abel Pramudya Nugrahadi
Advertisement