Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah menagih utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Mengapa penagihan baru dilakukan sekarang?
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md membeberkan alasan pemerintah baru menagih aset negara dalam kasus BLBI.
Advertisement
Terkait hal ini, dia justru menyinggung pemerintah lalu.
"Jawabannya gampang, karena kami baru jadi pemerintah. Ini kan dari tahun 2004, sudah beberapa kali pemerintah, kalau ditanya, Anda kok bertindak, loh kami kan baru bertindak," kata Mahfud saat konferensi pers, Kamis (15/4/2021).
Selain itu, Mahfud menyampaikan, sebelumnya kasus BLBI ditangani secara pidana sehingga pemerintah masih menunggu keputusan inkrah hingga akhirnya masuk ke ranah perdata.
"Kan (dahulu) masih ada kasus pidana. Kalau bertindak, kemudian ada pidananya kan salah. Nah, sekarang sudah tidak ada kasus pidana yang menyangkut pemerintah tidak ada," ujar dia.
Mahfud menerangkan, kasus ini berkaitan dengan utang-piutang di mana negara memberikan piutang kepada debitur dan obligor BLBI.
"Para obligor ada yang membayar dengan jaminan, ada properti, ada uang, dan saham," ucap dia.
Pada perjalannya, sekitar 2004, pemerintah membubarkan BPPN dan menyatakan tugasnya selesai. Sementara utang-hutang para obligor BLBI diserahkan ke negara untuk ditagih melalui Kementerian Keuangan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Mandek karena Kasus Sjamsul Nursalim
Mahfud menerangkan, penagihan saat itu berjalan madek akibat ada dugaan korupsi terutama dalam penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim. SKL tersebut ditandatangani oleh Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung.
"Syafruddin diadukan ke pengadilan pidana dan semula dihukum. Sampai ke tingkat pengadilan korupsi, pengadilan pertama 13 tahun penjara dengan denda Rpn700 juta. kemudian ditingkat banding dikuatkan malah, dinaikkan, dari 13 tahun menjadi 15 tahun denda Rp 1 Miliar, dengan putusan itu, Sjamsul dan Itjih Nursalim dijadikan tersangka, karena satu paket," papar dia.
Mahfud memerangkan, meski menyandang status sebagai tersangka, keduanya tidak pernah datang memenuhi panggilan. Akhirnya MA menyatakan kasus itu bukanlah tindak pidana.
"Tiga hakim saat itu, satu mengatakan ini pidana, dua hakim mengatakan ini perdata yang satu administrasi sehingga tidak bisa diputus sebagau tindak pidana. Maka Syafruddin Arsyad itu menjadi dibebaskan dari segala tuntutan, bukan dibebaskan dari tuduhan dan dakwaan, dari tuntutan. Karena ini menjadi perdata," papar Mahfud.
Mahfud menerangkan, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) kemudian mengajukan peninjauan kembali atas putusan tersebut. Tapi ditolak.
"PK tidak diterima karena tidak memenuhi syarat, jadi yang mengajukan PK hanya orang dihukum bukan penuntut umum," ucap dia.
Advertisement
Berkat SP3
Mahfud menerangkan, KPK akhirnya menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas perkara tersebut pada April 2021 lalu.
"Nah, karena SP3, pemerintah lalu membentuk satgas. Jadi selama ini mengendap karena masih ada perkara begitu, makanya sekarang harus jalan," ucap dia
Karena itu, pemerimtah akan menyelesaikan perkara kasus BLBI secara perdata. Pemerintah telah mendata aset Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Mahfud menyebut aset yang bisa dikembalikan Rp 110 triliun. Aset itu berupa, aset kredit, saham, properti, tabungan, dan sebagainya.
"Setelah mengitung sesuai dengan perkembangan jumlah kurs kemudian sesudah mengitung pergerakan saham dan nilai properti yang dijaminkan, per hari ini dan ini yang menjadi pedoman, adalah sebesar Rp 110.454,809.645.467. Jadi Rp 110 triiun hitungan terakhir," ucap Mahfud.