Liputan6.com, Jakarta Penderita hemofilia atau kelainan pembekuan darah diharapkan memiliki otot yang kuat, tetapi perlu menghindari olahraga yang melibatkan kontak fisik atau risiko benturan.
“Sendi itu yang menjaga kan adalah otot, jadi sebenarnya pasien hemofilia itu diharapkan punya otot yang kuat,” kata Dr. dr. Novie A Chozie, SpA(K) dari Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) dalam diskusi daring yang diselenggarakan HMHI ditulis Sabtu (17/4/2021).
Advertisement
Novie menyebut, ketika pasien hemofilia memiliki berat badan di bawah normal atau bahkan gizi buruk, dikhawatirkan otot-ototnya akan mengalami atrofi atau mengecil. Namun, overweight atau obesitas pun tidak diharapkan.
“Karena kalau kegemukan, sendinya akan terbeban lebih berat. Enggak obesitas aja dia udah mudah pendarahan, apalagi kalau berat badannya berlebih,” ujar Novie.
Menurutnya penderita hemofilia tidak memiliki aturan makan atau minum secara khusus, tetapi asupan gizinya harus seimbang.
“Jadi selalu dianjurkan penderita hemofilia itu makan gizi seimbang dan mempertahankan berat badan yang normal.”
Selain menjaga berat badan, penderita hemofilia perlu mewaspadai olahraga tertentu yang dapat membahayakan dirinya. Olahraga yang melibatkan kontak fisik seperti karate dan pencak silat atau olahraga yang menimbulkan resiko benturan perlu dihindari.
Simak Juga Video Berikut
Peningkatan Diagnosis
Hemofilia tidak hanya berkaitan dengan gen tetapi juga dengan penyakit autoimun. Novie menerangkan penyakit autoimun dapat menyebabkan munculnya antibodi terhadap faktor VIII dan kemudian menimbulkan acquired hemophilia atau hemofilia yang didapat.
Kondisi ini umumnya terjadi pada pasien diabetes melitus berat atau beberapa jenis keganasan seperti limfoma dan biasanya terjadi di usia tua.
Novie pun berharap agar kemampuan tenaga medis di Indonesia untuk mendiagnosis hemofilia dapat semakin ditingkatkan.
“Kita harus meningkatkan kemampuan diagnosis kita. Kalau bisa tersebar merata di semua provinsi sehingga akses pasien juga bisa lebih mudah,” ungkapnya.
Ia juga mengharapkan agar terapi profilaksis dapat segera diimplementasikan, terkhusus pada anak-anak. Menurutnya, terapi ini sangat penting untuk mengurangi risiko kerusakan sendi pada anak.
Penulis: Abel Pramudya Nugrahadi
Advertisement