Liputan6.com, Jakarta - Sejak suaminya meninggal dunia, Pangeran Philip, pada 9 April 2021, Ratu Elizabeth II menghindari berpakaian warna-warni. Ia menggantinya dengan berpakaian serba hitam selama dua minggu sebagai masa berkabung untuk sang suami tercinta.
Seperti kebiasaan, seluruh keluarga kerajaan akan mengikuti aturan berpakaian (dress code) yang ketat ketika sang Duke dimakamkan pada 17 April 2021. Itu menjadi pemakaman kerajaan pertama di Inggris sejak Ibu Suri meninggal pada 2002, seperti dikutip dari laman CNN, Jumat, 16 April 2021.
Baca Juga
Advertisement
Wanita akan mengenakan gaun selutut hitam dan topi formal, sementara pria akan mengenakan mantel pagi hitam dengan medali, menurut juru bicara dari Istana Buckingham. Keluar dari tradisi, tidak ada anggota keluarga yang akan berseragam militer, menghindari kemungkinan dilema, karena gelar Pangeran Harry dicopot ketika dia mengundurkan diri dari tugas kerajaan.
Bahkan di saat-saat duka, perhatian dititikberatkan pada bagaimana anggota keluarga kerajaan menafsirkan aturan berpakaian, yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan telah berubah seiring waktu. Pada 1982, foto-foto Putri Diana terlihat secara luas di pemakaman aktris dan Puteri Monako, Grace Kelly, dengan topi jerami terselubung, gaun hitam lengan panjang berkerah, dan kalung hati.
Sementara saat pemakaman Putri Wales pada 1997, gambar Pangeran Philip, Pangeran William, saudara laki-laki Diana Charles Spencer, Pangeran Harry dan Pangeran Charles yang berjalan di belakang peti mati dengan jas gelap adalah salah satu foto yang paling banyak dirujuk dalam sejarah kerajaan kontemporer dan simbol dari pakaian pemakaman kerajaan modern.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Hitam sebagai Simbol Visual Kesedihan
Meskipun hitam telah lama menjadi warna pilihan untuk berkabung - warna ini populer di kalangan orang kaya selama Abad Pertengahan - warna ini menjadi warna kesedihan di mana-mana pada abad ke-19. Menurut Strasdin, selama periode tersebut, aturan pakaian berkabung di Eropa dan Amerika, terutama untuk wanita.
Situasi itu didukung oleh munculnya publikasi wanita serta pakaian yang lebih terjangkau. Bahkan, department store modern lahir dari industri pemakaman yang baru lahir.
Sekitar 1840-an, Strasdin berkata, "emporium besar-besaran" yang muncul di London dan Paris dimaksudkan sebagai tempat pemberhentian tunggal untuk kebutuhan pemakaman. "Di bawah satu atap, Anda bisa memperoleh segalanya mulai dari alat tulis hingga perhiasan duka cita," katanya.
Gaya berkabung seseorang "berfungsi sebagai simbol visual kesedihan ... sekaligus menunjukkan status, rasa, dan tingkat kesopanan pemakainya," kata teks pengantar untuk pameran 2014 "Kematian Menjadi Dia: Seabad Pakaian Berkabung" di Museum Seni Metropolitan.
Penulis etiket D.C. Colesworthy memiliki pandangan yang lebih nakal tentang tren dalam bukunya pada 1867, Hints of Common Politeness, seperti dikutip dalam pameran Met. "Ketika kami melihat para wanita tetap memakai bulu musang, kami teringat akan jawaban seorang janda muda yang ditujukan kepada ibunya: 'Tidakkah kau lihat,' kata dia, 'itu menghemat biaya iklan untuk seorang suami," tulisnya.
Warna hitam sempat berhenti sebentar pada 1938, setelah kematian nenek Ratu Elizabeth II, Countess of Strathmore. Sebuah foto menunjukkan Ibu Suri mengenakan gaun putih yang dirancang oleh Norman Hartnell untuk menghormati kematian ibunya. Konsep "berkabung putih" mengikuti contoh Maria, Ratu Skotlandia, yang dilukis dengan gaun berkabung putih setelah dia kehilangan banyak anggota keluarga pada abad ke-16.
Tapi tidak ada yang lebih berpengaruh pada pakaian berkabung selain Ratu Victoria. Menyusul kematian mendadak suaminya Pangeran Albert pada 1861, ratu secara terbuka mengungkapkan kesedihannya dengan mengenakan pakaian hitam setiap hari selama empat dekade sampai kematiannya sendiri. Victoria-lah yang membantu menyusun nuansa mode kesedihan dan mempertahankan identitasnya sebagai "janda abadi", menurut Strasdin.
Advertisement