Liputan6.com, Beirut- Selama dekade terakhir, Sawa For Development and Aid telah mengirimkan makanan untuk buka puasa bagi sekitar 4.000 keluarga setiap harinya selama Ramadhan di Bekaa Valley, timur Lebanon.
Namun tahun ini, dapur LSM yang sibuk tersebut harus bekerja tanpa henti, dengan memasak untuk sedikitnya 7.000 pengungsi Suriah dan keluarga Lebanon.
Advertisement
"Tahun ini sedikit berbeda," kata Doha Adi, manajer program LSM Sawa For Development and Aid, kepada Al Jazeera.
"Kami menyediakan makanan hangat untuk area yang jauh dari dapur kami (di Bekaa Valley), mengirimkan paket makanan ke rumah-rumah di Beirut dan Tripoli - kami tidak pernah berpikir kami harus bekerja di Beirut," katanya.
Tetapi, bukan hanya pengungsi Suriah dan warga Lebanon yang rentan di seluruh negeri yang meminta Sawa untuk Pembangunan dan Bantuan untuk makan di bulan Ramadhan ini.
"Kami dihubungi oleh pemerintah kota di Kegubernuran Bekaa untuk mendukung keluarga Lebanon tahun ini," kata Adi.
"Mereka mengirimkan daftar keluarga yang rentan kepada kami, menanyakan apakah kami dapat mendukung mereka," terangnya.
Diketahui bahwa keuangan di Lebanon telah kehilangan sekitar 90 persen nilainya sejak akhir 2019 dan terus merosot.
Selama 18 bulan terakhir, lebih dari separuh penduduk Lebanon jatuh miskin.
Selain itu, harga pangan telah meroket - bahkan untuk kebutuhan pokok rumah tangga yang paling sederhana.
Lebanon mengimpor sebagian besar barangnya, termasuk makanan, dan inflasi pangan di Lebanon adalah yang tertinggi di dunia, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Hal ini dikarenakan harga pangan telah melonjak di atas 400 persen, demikian seperti dikutip dari Al Jazeera, Senin (19/4/2021).
Saksikan Video Berikut Ini:
Sejumlah Warga Lebanon Minimalkan Porsi Makan
Perhitungan oleh Nasser Yassin, profesor kebijakan dan perencanaan di American University of Beirut, telah mengungkapkan bahwa salad fattoush yang umum - terdiri dari bahan dasar seperti selada, tomat, lobak, dan peterseli - 210 persen lebih mahal untuk dibeli tahun ini.
Yassin telah menepis spekulasi tabloid bahwa Lebanon dapat menyaksikan kasus kelaparan, tetapi masih khawatir dengan krisis ketahanan pangan negara itu dan mengatakan rumah tangga di Lebanon kemungkinan akan beralih ke pola makan yang kurang bergizi dan beragam.
"Daripada makan tiga kali (sehari), mereka akan makan dua kali, tetapi kebanyakan dari mereka akan memilih pilihan yang lebih murah, jadi lebih banyak karbohidrat, lebih sedikit daging dan protein," kata Yassin.
Sawa for Development and Aid sejauh ini telah mendapatkan lebih dari US$ 12.000 dalam bentuk sumbangan untuk layanan makanan pada Ramadhan tahun ini, tetapi LSM tersebut telah merasakan efek dari harga pangan yang tinggi.
Mempersiapkan parsel makanan untuk memberi makan sebuah keluarga selama lebih dari sebulan biasanya menghabiskan biaya 100.000 pound Lebanon (us$ 66).
"Tapi sekarang, apa yang bisa kamu dapatkan dengan itu?" Kata Adi. "Satu kaleng minyak, mungkin?"
Ia mengungkap, membuat paket makanan yang sama kini harganya lebih dari enam kali lipat.
"Tahun ini, kami menambah persediaan makanan untuk program bantuan tunai kami," jelasnya.
"Anda benar-benar bisa masuk ke sebuah rumah dan tidak menemukan makanan di lemari es atau di dapur," ungkapnya.
Advertisement