Liputan6.com, Jakarta - PT Asuransi Jiwasraya (Persero) menargetkan bisa menyelesaikan program restrukturisasi polis sampai 31 Mei 2021. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun telah memberikan izin kepada IFG Life untuk menerima polis Jiwasraya hasil restrukturisasi mulai Juni 2021.
Ketua Tim Solusi Jangka Menengah Restrukturisasi Polis Jiwasraya Angger P Yuwono mengatakan, pihaknya akan melakukan proses migrasi polis secara bertahap sebulan sebelum program restrukturisasi selesai.
Advertisement
Sehingga, Angger mengutarakan, persetujuan restrukturisasi untuk seluruh kategori pemegang polis direncanakan bisa tuntas akhir April. Kendati begitu, Jiwasraya tetap masih membuka kesempatan persetujuan restrukturisasi polis hingga akhir Mei 2021.
"Persetujuan restrukturisasi sih kalau bisa selesai akhir April. Kalau bisa semua sudah di atas 90 persen," ujar Angger dalam sesi diskusi di Jakarta, dikutip Selasa (20/4/2021).
Berdasarkan progress update restrukturisasi polis per 16 April 2021, sekitar 91,3 persen atau 15.934 dari pemegang polis bancassurance telah menyetujui program restrukturisasi.
Kemudian sebanyak 76,6 persen atau 1.546 polis korporasi dan 71,9 persen atau setara 131.366 polis ritel juga telah menyetujui program tersebut.
Jumlah itu mengalami kenaikan dari update per 13 April 2021, dimana sekitar 90,3 persen atau setara 15.771 nasabah bancassurance telah setuju dilakukan restrukturisasi.
Sementara pemegang polis korporasi Jiwasraya yang sepakat sebesar 75,3 persen atau 1.520 nasabah, dan polis ritel masih sekitar 65 persen atau setara 127.399 dari total nasabah.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kasus Jiwasraya Harus Jadi Titik Balik Reformasi Industri Asuransi
Sebelumnya, Manajemen baru PT Asuransi Jiwasraya (Persero) menekankan, masalah gagal bayar di Jiwasraya harus menjadi titik balik dalam reformasi industri asuransi. Ke depan, penerapan framework governance risk compliance (GRC) menjadi penting untuk menjalankan roda bisnis perusahaan ke depan.
Direktur Kepatuhan dan SDM Jiwasraya, R. Mahelan Prabantarikso menyebutkan, sebelumnya Jiwasraya tidak menjalankan manajemen risiko dengan optimal berkaitan dengan unit-unit di perusahaan. Seperti contoh, Jiwasraya pada saat itu menjalankan investasi yang tidak prudent dan terjadi hingga Jiwasraya dinyarakan gagal bayar pada Oktober 2018.
“Kami temukan banyak unit yang manajemen risikonya tidak optimal, misalnya dalam menjalankan investasi tidak prudent. Oleh karena itu penting terdapat framework GRC,” ujar Mahelan, Kamis (15/4/2021).
Mahelan menyebutkan, dengan menerapkan aspek GRC, permasalah yang ada di Jiwasraya ini harus menjadi titik balik dalam reformasi di industri asuransi. Karena mampu menumbuhkan integrasi dan tercegahnya konflik kepentingan.
Adapun penguatan tata kelola juga menjadi sangat krusial untuk dapat menggenjot pertumbuhan industri dengan lebih optimal. "Dampak kasus gagal bayar memengaruhi pertumbuhan penetrasi asuransi jiwa dan menyebabkan risiko reputasi, oleh karena itu reformasi menjadi penting," ujar Mahelan.
Advertisement
Kata OJK
Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) II Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Moch Ihsanuddin mengakui, industri asurasni masih menghadapi sejumlah tantangan, dari mulai penetrasi dan densitas hingga kasus gagal bayar di sejumlah perusahaan.
Maka dari itu, OJK menyiapkan tiga fokus penganan di industri asuransi ini. Pertama, berkenaan dengan pendalamaan, root cause. Dengan begitu, pihaknya bisa mengetahui masalah apa saja yang ada di dalam perusahaan. Setelah akar masalah diketahui, OJK bersama dengan perusahaan akan menyusun mekanisme dan mencari solusinya.
“Kami diskusikan bersama dengan manajemen, kalau perlu dengan pemegang saham, salah satunya mempelajari apakah ini masalah baru atau warisan," ungkapnya.
Kedua, OJK akan menerapkan risk based supervision sesuai kondisi masing-masing perusahaan, didukung dengan pengembangan infrastruktur yang memadai.
Ketiga, OJK akan meminta komitmen pemegang saham atau manajemen perusahaan terkait untuk menyiapkan rencana penyehatan keuangan (RPK). Kegiatan penyehatan pun diawasi sesuai waktu penyelesaian yang disepakati perusahaan dengan otoritas.
"Kalau solusinya tidak bisa, regulator kan ada regulasi dan kami punya tanggung jawab. Kami akan jalankan sesuai aturan yang berlaku dan berikan sanksi, surat peringatan, pembatasan kegiatan usaha, ujungnya dicabut [izin usaha] jika tidak bisa diatasi penyebabnya," ujar Ihsanuddin.
Dalam tiga tahun terakhir, terdapat beberapa kasus gagal bayar di indsutri asuransi yang menjadi sorotan. Diantaranya adalah Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912, PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) atau Asabri dan PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Reformasi asuransi pun menjadi agenda yang perlu didorong, baik oleh otoritas maupun para pelaku industri.
Ihsanuddin menjelaskan bahwa langkah reformasi akan disertai oleh pengembangan kebijakan industri asuransi, yang fokus pada stabilitas, daya saing, dan keberlanjutan bisnis.