Bukannya Hemat karena Bisnis Lesu, Gaji CEO Justru Naik Terus Selama 2020

Saat banyak perusahaan melaporkan kerugian, rata-rata gaji CEO di perusahaan besar AS justru naik selama pandemi Covid-19.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Apr 2021, 07:00 WIB
Ilustrasi Bos (pixabay.com)
Liputan6.com, Jakarta Di tengah krisis ekonomi akibat Pandemi Covid-19 sepanjang tahun lalu, selain para miliarder, pimpinan eksekutif atau CEO dari sebagian besar perusahaan besar di Amerika Serikat juga ikut untung besar.
 
Dikutip dari HuffPost, Jumat (23/4/2021) nilai rata-rata kompensasi gaji para CEO di 300 perusahaan terbesar di AS tetap naik sekalipun tahun 2020 jadi musim paceklik bagi sebagian besar sektor ekonomi. Dalam analisis yang dilakukan Wall Street Journal, nilainya naik dari rata-rata USD 12,8 juta menjadi USD 13,7 juta.
 
Rata-rata kenaikan gaji para CEO berkisar 15 persen. Terdapat sekitar 206 dari 322 CEO yang mengalami kenaikan gaji, sisanya berada di nilai yang stagnan juga turun.
 
Analisis tersebut dilakukan terhadap perusahaan yang listing dalam indeks S&P 500 melalui firma riset MyLogIQ.
 
Kompensasi CEO yang terus meningkat, bahkan di industri yang dirugikan oleh pandemi dan di perusahaan di mana kepala eksekutif secara sukarela menyerahkan sebagian dari gaji mereka.
 
Hasil analisis juga menunjukkan kenaikan gaji CEO tidak selalu relevan dengan kinerja perusahaannya. Seperti lini bisnis kapal pesiar Norwegian Cruise Line Holdings yang merugi USD 4 miliar tahun lalu, gaji CEOnya, Frank Del Rio justru berlipat ganda menjadi USD 36,4 juta.
 
Begitupun CEO dari perusahaan katering Aramark, yang menyerahkan sebagian gajinya selama pandemi, meraup USD 27,1 juta pada tahun 2020 karena dewan direksi mencapai target bonusnya.
 
CEO dari 350 perusahaan publik besar pada tahun 2019 memperoleh rata-rata 320 kali lebih banyak daripada pekerja biasa di perusahaan yang sama, menurut Economic Policy Institute.
 
Perbandingan tersebut berkali lipat naik jika dibandingkan tahun 1989, rasio rata-rata perbandingan gaji CEO dan karyawan biasa, 61 banding 1.
 
Cerita serupa sempat menggegerkan publik negeri paman sam belum lama ini. Ketika seorang pekerja di Pusat Riset Medis nirlaba Missouri di Kansas City dinobatkan sebagai karyawan terbaik bulan ini, dan diberi kupon kafetaria senilai USD 6 sebagai "bonus" tahun lalu setelah sembuh dari COVID-19.
 
Sangat timpang jika membandingkan dengan CEO dari perusahaan induk rumah sakit itu, yang menghasilkan gaji USD 30 juta setahun.
 

Saksikan Video Ini


CEO Bergaji Selangit

CEO Sundar Pichai ketika membawakan keynotes di Google I/O 2017. (Doc: Google HQ)
Sepanjang pandemi, keuntungan yang berhasil dicatatkan sejumlah perusahaan teknologi bisa jadi alasan yang masuk akal jika CEO dari induk Google, Alphabet, Sundar Pichai dan CEO Microsoft, Satya Nadella termasuk pemimpin perusahaan dengan gaji termahal.
 
Sebuah NGO yang aktif mengadvokasi kepentingan para pemegang saham, As You Sow melakukan pemeringkatan gaji para CEO pada tahun 2020, dan Sundar Pichai berada di peringkat teratas. Sebagai CEO bergaji termahal, ia mengantongi USD 280 juta setahun, seperti dikutip dari Business Insider.
 
Nilainya tersebut sangat jauh jika dibandingkan dengan gaji rata-rata karyawan Google sekitar USD 258.708. Nilainnya 1.085 dibanding 1. As You Sow menilai Pichai telah dibayar berlebihan, pasalnya ia harusnya bergaji USD 14 juta saja.
 
Sementara Satya Nadella berada di peringkat 24. Ia mempunyai gaji USD 42 juta. Nilai tersebut sangat jauh jika dibandingkan dengan gaji rata-rata karyawannya USD 172.512. Nilainya 249 dibanding 1. Harusnya ia hanya dibayar USD 15 juta.
 
Selain itu, berdasarkan temuan As You Sow, sejak mereka melakukan pemantauan dari tahun 2015, terdapat sembilan CEO yang tiap tahun masuk dalam daftar CEO bergaji termahal. Jika diakumulasikan, gaji dari kesembilan CEO tersebut mencapai USD 2 miliar.
 
Meski kenyataannya perusahaan dari sembilan CEO tersebut memiliki kinerja yang buruk terhadap kepuasaan pemegang sahamnya. Nilai return saham dari perusahaan yang dikendalikan sembilan CEO tersebut selalu lebih rendah dari perusahaan lain di Indeks S&P 500.
 
 
Reporter: Abdul Azis Said

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya