Kisah Riche, Berdiplomasi Lewat Dapur Ajak Perempuan Menyelamatkan Hutan

Jalur diplomasi dapur ala Riche Rahma Dewita (37) berhasil meyakinkan masyarakat dan kelompok perempuan untuk bersama-sama menyelamatkan hutan yang tersisa.

oleh Gresi Plasmanto diperbarui 21 Apr 2021, 07:00 WIB
Riche Rahma Dewita (Liputan6.com/dok. KKI Warsi)

Liputan6.com, Jambi - Riche Rahma Dewita (37), perempuan asal Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi, berhasil mengubah paradigma perempuan di Jorong Simancuang, Nagari Alam Pauh Duo, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat. Ia membantu kelompok perempuan dan masyarakat di desa tersebut, agar lepas dari persoalan ketidakberpihakan pengelolaan sumber daya hutan.

Ketika itu Riche menjadi fasilitator KKI Warsi di Jorong Simancuang Nagari Alam Pauh Duo Kecamatan Pauh Duo Kabupaten Solok Selatan. Jorong (dusun) itu berjarak 6 jam berkendara dari Padang ibukota Sumatera Barat, tanpa aliran listrik maupun sinyal telepon.

Jorong ini menurutnya sangat rentan. Berada paling ujung di Kabupaten Solok Selatan, langsung berbatasan dengan hutan. Di sana juga marak kegiatan logging di kawasan yang "menyandera" masyarakat.

Masyarakat Simancuang merupakan petani penggarap sawah yang berada dalam cekungan perbukitan. Perbukitan yang mengelilingi jorong merupakan kawasan hutan produksi yang menjadi penyangga hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

"Hutan produksi itu dulunya menjadi tempat pengambilan kayu oleh pihak lain di luar warga Simancuang," ujar Riche kepada Liputan6.com, Selasa (20/4/2021).

Selain itu wilayahnya yang berada paling ujung juga sebut dia, menyebabkan arus informasi ke jorong ini sangat minim. Pelaku logging hanya menyodorkan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU). Masyarakat di sana hanya diyakinkan bahwa itu merupakan izin yang sah untuk menebang kayu di hutan Bukit Panjang Karang Hitam yang berada di sekeliling jorong di Simancuang.

Tak hanya itu, investor tambang biji besi juga sudah datang ke jorong itu untuk menambang biji besi yang diperkirakan ada di kawasan hutan.

Masyarakat Simancuang sudah menyadari berdasarkan pengalaman, kegiatan logging dan penambangan sangat berbahaya untuk berlangsung sawah mereka. Namun masyarakat tak berdaya untuk menolak kegiatan yang berlangsung di sekitar dusun mereka.

Banjir bandang pernah menyapu sawah masyarakat pada tahun 2000. Dan juga pengalaman longsornya tambang biji besi di daerah Surian nagari yang merupakan daerah asal sejumlah warga Simancuang di wilayah hulu, menjadikan masyarakat ketakutan bencana serupa akan kembali.

Riche yang kala itu menjadi fasilitator di jorong ini berupaya menjalankan tugasnya untuk membantu masyarakat untuk lepas dari persoalan ketidakberpihakan pengelolaan sumber daya hutan.

Kecurigaan dan juga tatapan sinis menjadi bagian kehidupannya waktu itu. Sejumlah elite berupaya memulangkannya dari desa itu. Meski tidak mudah dan butuh waktu lama, Riche tak henti untuk meyakinkan masyarakat untuk berjuang memperoleh akses dan perlindungan kawasan hutan.

Simak juga video pilihan berikut ini:


Meyakinkan Masyarakat Lewat Diplomasi Dapur

Riche Rahma Dewita (kiri) bersama perempuan di Jorong Simancuang, Solok Selatan. (Liputan6.com/dok KKI Warsi)

Cara pertama yang dilakukan Riche adalah dengan menyelami lebih jauh kehidupan masyarakat Simancuang. Meski ada yang menerima, tapi banyak juga kelompok masyarakat yang tidak menerima kehadiran Riche di jorong atau dusun itu.

Perlahan namun pasti dengan ilmu antropologi yang telah dipelajarinya, Riche pantang menyerah. Kunci utama yang di pegang Riche kala itu adalah menyelami masyarakat sampai ke akarnya, sehingga ia bisa diterima dengan baik di semua kalangan masyarakat tanpa ada batas.

"Untuk bisa diterima secara penuh itu, membutuhkan waktu sampai 3 bulan," kata Riche, Manajer Program KKI Warsi, ketika mengenang awal mendampingi masyarakat untuk melindungi hutan Bukit Panjang Karang Hitam Solok Selatan.

Jurus pamungkas pun digunakan Riche untuk mendekati masyarakat. Biasanya dirinya akan diterima secara penuh jika dia sudah bisa masuk ke dapur dan mengobrol dengan perempuan di kampung.

"Artinya kita tidak lagi diberlakukan seperti tamu. Di dapur semua obrolan menjadi lepas sehingga bisa diketahui apa sesungguhnya yang menjadi keinginan masyarakat," ujarnya.

Hanya saja untuk bisa masuk ke dapur nimbrung bersama perempuan di sana tidak gampang. Pemilik rumah tempat dia menginap hanya mengizinkan ke kamar mandi dan kemudian diminta untuk kembali ke ruang tamu di depan.

Tapi Riche tiap hari mengusahakan untuk bisa nimbrung di dapur. Caranya, dia meminta diajarkan memasak agar bisa berdiplomasi tanpa sekat dengan perempuan di sana.

"Pemilik rumah akhirnya mengizinkan untuk ikut di dapur dan memasak bersama, sejak itu semuanya menjadi lebih terbuka dan tanpa sekat," kata dia.

Dari obrolan dapur itu, kemudian masyarakat mulai berdiskusi tentang apa yang bisa dilakukan untuk menjawab kecemasan yang menghantui mereka terhadap aktivitas ilegal loging di hutan mereka.

"Hingga akhirnya ketika diskusi-diskusi dilakukan, masyarakat semakin terbuka dan membuat rencana untuk perlindungan kawasan hutan Bukit Panjang Karang Hitam dikelola masyarakat," ujar perempuan lulusan Magister Antropolgi Universitas Andalas itu.

 


Masyarakat Punya Hutan Nagari 650 Hektare

Foto aerial Jorong Simancuang, Solok Selatan, Sumbar, dengan kondisi hutannya. (Liputan6.com/dok KKI Warsi)

Hingga akhirnya ketika diskusi-diskusi dilakukan masyarakat semakin terbuka dan membuat rencana untuk perlindungan kawasan hutan Bukit Panjang Karang Hitam dikelola masyarakat. Untungnya waktu itu Kementerian Kehutanan baru saja meluncurkan program keterlibatan masyarakat mengelola hutan.

"Waktu itu masyarakat memilih untuk mengajukan usulan pengelolaan hutan nagari (nagari merupakan sebutan desa untuk Sumatera Barat, Red). Namun usulan ini tidak berlangsung mulus," sebutnya.

Masalahnya pada tahun sekitar 2009-2010, pengelolaan hutan berbasis masyarakat, meski sudah diluncurkan kementrian kehutanan, namun di daerah kebijakan ini belum populer bahkan bisa disebut belum dipahami.

Butuh waktu setahun juga hingga kemudian Menteri kehutanan mengeluarkan SK Nomor 573/Menhut-II/2011 pada tanggal 3 oktober 2011 tentang Penetapan Areak Kerja Hutan Nagari Jorong Simancuang seluas 650 hektare.

Setelah mendapatkan SK Penetapan Areal Kerja, selanjutnya yang menjadi target adalah bagaimana masyarakat mengelolanya, yaitu membutuhkan SK dari Gubernur Sumatera Barat untuk mengeluarkan Hak Pengelolaan Hutan Nagari (HPHN).

Untuk proses ini sebut Riche, membutuhkan verifikasi lagi dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat. Dalam tim verifikasi Dishut Sumbar mengirimkan perwakilan ke Simancuang, tim ini bertanya bagaimana dengan peran WARSI di lokasi.

"Pola pikir masyarakat yang sudah sangat paham dengan kawasan hutan mereka, dan kemudian memiliki rencana untuk mengelola kawasan hutan secara berkelanjutan," kata dia.

Simancuang kini cukup terkenal tidak hanya karena hutannya, namun juga karena beras organiknya. Pun dengan bermacam aktivitas masyarakat lainnya yang menunjukkan trend positif untuk keberlangsungan sumber daya alam.

 


Bicara di Forum Internasional

Saat ini Riche fokus pada kegiatan pengelolaan kolaboratif pemegang konsensi untuk mempertahankan tutupan hutan tersisa, memperkuat dukungan perlindungan keanekaragaman hayati, dan meningkatkan nilai manfaat Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di lanskap TNKS dengan cakupan wilayah kerja Jambi dan Sumatera Barat.

Dalam mengembangkan potensi ini kemudian Riche dalam waktu yang relatif singkat mendapatkan amanah dari KKI Warsi--lembaga nirlaba yang bergerak disektor konservasi, untuk menjadi pengelola proyek, tepatnya sejak tahun 2015.

"Bagi saya ini amanah yang harus di pegang, sehingga apa potensi yang ada di masyarakat bisa dikoordinasikan dengan banyak pihak, dan menjadi sebuah gerakan bersama untuk penyelamatan sumber daya hutan yang memberikan penghidupan untuk masyarakat di sekitarnya," ujar Riche.

Lewat kapasitasnya ini Riche, juga beberapa kali diberi kesempatan untuk mempresentasikan kegiatannya bersama masyarakat dalam menyelamatkan hutan. Pada September 2011 ia mengikuti rangkaian CSO meeting and ASFN Forum di Cambodia.

Dalam forum tersebut, ia mewakili Indonesia untuk menyampaikan pembelajaran praktek pemberian akses kelola pada masyarakat melalui Perhutanan Sosial dan merekomendasikan pemerintah di negara – negara ASEAN untuk memberikan hak dan akses kelola hutan kepada masyarakat.

Riche juga pernah mengikuti REDD Exchange di Oslo – Norwegia pada September 2013. Kegiatan ini merupakan forum negara – negara yang memiliki komitmen untuk penurunan emisi melalui pembangunan rendah karbon.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya