Marie Thomas, Dokter Perempuan Pertama di Indonesia yang Sempat Alami Diskriminasi

Marie Thomas merupakan dokter perempuan pertama di Indonesia. Cita-citanya menjadi dokter hampir saja kandas karena STOVIA hanya menerima murid laki-laki.

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Apr 2021, 19:57 WIB
Marie Thomas (Foto: Wikipedia)

Liputan6.com, Jakarta Marie Thomas merupakan dokter perempuan pertama Indonesia. Ia juga salah satu dokter yang pertama kali terlibat dalam kebijakan mengontrol kelahiran bayi lewat metode kontrasepsi Intrauterine Device (IUD).

Marie Thomas mengenyam pendidikan kedokteran selama 10 tahun sejak 1912 hingga 1922 di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA). Kelulusan Marie dipandang istimewa sampai-sampai menjadi bahan berita di Hindia Belanda.

Bukti kelulusan Marie yang terpampang dalam papan Lulusan STOVIA 1902-1926 kini bisa dilihat di Museum Kebangkitan Nasional, seperti yang dilansir dari Health Liputan6.com

Mengutip laman resmi Museum Kebangkitan Nasional, setelah lulus, Marie langsung bekerja di rumah sakit terbesar di Batavia kala itu Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ) – sekarang RS Cipto Mangunkusumo. Namun, seolah merasa tidak cukup dengan gelar dokter saja, Marie mengambil spesialisasinya dalam bidang ginekologi dan kebidanan.

Simak Juga Video Berikut


Diskriminasi Perempuan di STOVIA

Hari Kebangkitan Nasional semestinya bukan hanya dirayakan seremonial semata.

Marie Thomas lahir di Likopang, Minahasa, Sulawesi Utara pada 17 Februari 1896. Putri dari Adrian Thomas dan Nicolina Maramis ini kerap berpindah-pindah tempat tinggal mengikuti ayahnya yang merupakan seorang tentara.

Pada tahun 1911, ia lulus dari Europeesche Lagere School (ELS), sebuah sekolah khusus anak-anak Eropa dan Bumiputera beragama Kristen di Manado. Cita-citanya menjadi dokter hampir saja kandas karena STOVIA hanya menerima murid laki-laki.

Beruntung seorang dokter perempuan Belanda bernama Aletta Jacobs memperjuangkan hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan kedokteran. Pada 18 April 1912, ia menemui Gubernur Jenderal A.W.F Idenburg dan mengusulkan agar perempuan diberi kesempatan menjadi dokter. Usulan tersebut disetujui dan para puan diizinkan mendaftar di STOVIA.

Namun, diskriminasi itu masih belum sepenuhnya hilang. Kaum perempuan dipersulit dengan harus membayar biaya pendaftaran dan menanggung biaya hidup mereka sendiri. Lain cerita dengan pelajar laki-laki yang sepenuhnya didanai pemerintah.

Beberapa perempuan Belanda di Batavia saat itu mendirikan yayasan untuk memberikan bantuan beasiswa pendidikan perempuan bumiputera di sekolah kedokteran dan keperawatan. Yayasan ini bernama Studiefonds voor Opleiding van Vrouwelijke Inlandsche Artsen (SOVIA). Salah satu pendiri yayasan tersebut adalah Charlotte Jacobs yang merupakan saudara perempuan Aletta Jacobs.

Hebatnya, Marie Thomas berhasil meraih beasiswa dari SOVIA dan membuatnya diterima di STOVIA pada 22 September 1912. Ia merupakan satu-satunya pelajar perempuan di tengah 180 pelajar laki-laki.


Dirikan Sekolah Kebidanan di Bukittinggi

Google Doodle Dr Marie Thomas (Foto: Google Doodle)

Setelah menikah dengan Mohammad Yusuf, teman sekolahnya di STOVIA, Marie dan Yusuf pindah ke  kampung halaman Yusuf di Padang. Di sana ia masih bekerja sebagai dokter. Dikutip dari VOA Indonesia, Marie Thomas dikenal sebagai dokter murah hati. Marie tetap memberikan pelayanan medis meskipun tidak dibayar.

Sosok Marie Thomas juga peduli dengan dunia pendidikan. Saat ia dan suami menetap di Bukittinggi, pada tahun 1950 ia mendirikan sebuah sekolah kebidanan pertama di Sumatera dan kedua di Indonesia.

Pada 1966, Marie wafat dalam usia 70 tahun karena pendarahan otak secara tiba-tiba. Hingga akhir hayatnya, Marie tetap berdedikasi di dunia kedokteran dan pendidikan bidan. 

Pada 17 Februari 2021, potret Marie Thomas diabadikan dalam sebuah ilustrasi di Google Doodle sebagai bentuk peringatan ulang tahunnya ke-125. Dalam penjelasannya kepada publik, Google Doodle menyampaikan terima kasih kepada Marie Thomas atas “dedikasi tanpa pamrih bagi kehidupan orang lain, yang membuka jalan bagi perempuan di Indonesia untuk mengejar pendidikan kedokteran dan pendidikan tinggi lainnya.”

 

Penulis: Abel Pramudya Nugrahadi


Infografis Aman Berpuasa Saat Pandemi Covid-19

Infografis Aman Berpuasa Saat Pandemi Covid-19 (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya