Kepemilikan Investor Asing di Pasar Saham RI Merosot, Ada Apa?

Kepemilikan investor asing tercatat merosot. Dari 43,13 persen pada akhir 2020, menjadi 41,40 persen pada akhir Maret 2021.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 21 Apr 2021, 22:10 WIB
Pergerakan saham di BEI, Jakarta, Senin (13/2). Pembukaan perdagangan bursa hari ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat menguat 0,57% atau 30,45 poin ke level 5.402,44. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kepemilikan asing di pasar saham Indonesia kian menyusut sepanjang kuartal I 2021. Sebaliknya, di saat yang bersamaan kepemilikan investor domestik justru meningkat.

Head of Research Reliance Sekuritas Indonesia, Lanjar Nafi mengatakan, hal ini disebabkan inflasi di AS yang naik signifikan dibanding dengan Indonesia. Selain itu, juga ada kekhawatiran mengenai rentetan aksi teror dan bencana sebelumnya.

Hingga Maret 2021, KSEI mencatat total aset dalam sistem C-BEST atau bursa saham Indonesia mencapai Rp 4.644,56 triliun. Angka ini naik 5,79 persen dari posisi per akhir 2020 lalu sebesar  Rp 4.390,44 triliun.

Dari jumlah tersebut, kepemilikan investor asing tercatat merosot. Dari 43,13 persen pada akhir 2020, menjadi 41,40 persen pada akhir Maret 2021. Sementara investor domestik meningkat dari 56,85 per Desember 2020, menjadi 58,60 per Maret 2021.

Melihat kondisi tersebut, Lanjar menilai pasar saham negara maju memang masih lebih menarik. Hal ini lantaran negara berkembang masih perlu upaya ekstra untuk mengendalikan inflasi.

"Saat ini masih lebih menarik negara maju. Emerging market sedang berjuang sukses di pemulihan inflasi sebagai indikator pemulihan ekonomi,” kata dia kepada Liputan6.com, Rabu (21/4/2021).

Di sisi lain, imbal hasil (yield) obligasi yang naik membuat iklim investasi di negara maju lebih optimistis. Adapun pasar saham indonesia akan kembali menarik untuk investor asing nanti apabila program SWF indonesia bergerak lebih agresif.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


Pemulihan Ekonomi AS

Spesialis Michael Mara (kiri) dan Stephen Naughton berunding saat bekerja di New York Stock Exchange, AS, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok pada akhir perdagangan Rabu (11/3/2020) sore waktu setempat setelah WHO menyebut virus corona COVID-19 sebagai pandemi. (AP Photo/Richard Drew)

Selain itu, hengkangnya investor asing dari pasar saham Indonesia juga dipengaruhi pemulihan ekonomi di Amerika Serikat (AS).

"Pemulihan ekonomi AS sangat mempengaruhi. Investor akan menempatkan dana investasi lebih utama kepada negara yang mengalami pemulihan lebih cepat,” kata dia.

Lanjar menilai naiknya angka investor domestik tidak memiliki dampak begitu signifikan terhadap transaksi.

Sementara itu, dalam ulasan Senior Portfolio Manager, Equity PT Manulife Asset Manajemen Indonesia, Samuel Kesuma menuturkan, pemulihan ekonomi AS sebetulnya berdampak positif bagi negara Asia. Hal ini terutama pada negara yang berperan penting dalam rantai pasokan global seperti China, Korea Selatan, dan Taiwan.

“Pemulihan ekonomi Amerika Serikat akan meningkatkan permintaan barang produksi dari negara-negara tersebut sehingga akan berdampak positif bagi ekonominya,” ujar dia.

Ia memberikan gambaran mengenai pemulihan ekonomi AS tersebut. Samuel menuturkan, peningkatan satu persen produk domestik bruto (PDB) AS diperkirakan dapat meningkatkan PDB China dan Korea Selatan sekitar 0,12 persen.

Selain itu, beberapa negara Asia juga dalam kondisi ekonomi yang relatif lebih baik dibandingkan AS saat ini karena penanganan pandemi COVID-19 yang efektif sehingga ekonominya pulih lebih cepat.


Faktor Fundamental

Karyawan mengamati pergerakan harga saham di Profindo Sekuritas Indonesia, Jakarta, Senin (27/7/2020). Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 0,66% atau 33,67 poin ke level 5.116,66 pada perdagangan hari ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Samuel menambahkan, faktor fundamental adalah pendorong utama kinerja pasar saham jangka panjang.

"Saat ini kami melihat fundamental ekonomi dan emiten Indonesia mengarah pada level yang lebih baik dibanding tahun lalu sehingga dapat berdampak positif pada kinerja saham,” ujar dia.

Ia menambahkan, beberapa faktor juga mendukung pandangan yang suportif bagi pasar saham. Pertama, proses vaksinasi COVID-19 yang membaik sehingga dapat mendorong pemulihan ekonomi dan keyakinan masyarakat dan dunia usaha.

Kedua, kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia yang lebih proaktif untuk mendukung pemulihan ekonomi melalui berbagai insentif seperti di sektor otomotif dan properti. Ketiga, pertumbuhan laba emiten yang diperkirakan membaik pada 2021 dibandingkan kontraksi yang terjadi pada 2020.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya