Liputan6.com, Jakarta - Kepemilikan asing di pasar saham Indonesia kian menyusut sepanjang kuartal I 2021. Sebaliknya, di saat yang bersamaan kepemilikan investor domestik justru meningkat.
Head of Research Reliance Sekuritas Indonesia, Lanjar Nafi mengatakan, hal ini disebabkan inflasi di AS yang naik signifikan dibanding dengan Indonesia. Selain itu, juga ada kekhawatiran mengenai rentetan aksi teror dan bencana sebelumnya.
Advertisement
Hingga Maret 2021, KSEI mencatat total aset dalam sistem C-BEST atau bursa saham Indonesia mencapai Rp 4.644,56 triliun. Angka ini naik 5,79 persen dari posisi per akhir 2020 lalu sebesar Rp 4.390,44 triliun.
Dari jumlah tersebut, kepemilikan investor asing tercatat merosot. Dari 43,13 persen pada akhir 2020, menjadi 41,40 persen pada akhir Maret 2021. Sementara investor domestik meningkat dari 56,85 per Desember 2020, menjadi 58,60 per Maret 2021.
Melihat kondisi tersebut, Lanjar menilai pasar saham negara maju memang masih lebih menarik. Hal ini lantaran negara berkembang masih perlu upaya ekstra untuk mengendalikan inflasi.
"Saat ini masih lebih menarik negara maju. Emerging market sedang berjuang sukses di pemulihan inflasi sebagai indikator pemulihan ekonomi,” kata dia kepada Liputan6.com, Rabu (21/4/2021).
Di sisi lain, imbal hasil (yield) obligasi yang naik membuat iklim investasi di negara maju lebih optimistis. Adapun pasar saham indonesia akan kembali menarik untuk investor asing nanti apabila program SWF indonesia bergerak lebih agresif.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Pemulihan Ekonomi AS
Selain itu, hengkangnya investor asing dari pasar saham Indonesia juga dipengaruhi pemulihan ekonomi di Amerika Serikat (AS).
"Pemulihan ekonomi AS sangat mempengaruhi. Investor akan menempatkan dana investasi lebih utama kepada negara yang mengalami pemulihan lebih cepat,” kata dia.
Lanjar menilai naiknya angka investor domestik tidak memiliki dampak begitu signifikan terhadap transaksi.
Sementara itu, dalam ulasan Senior Portfolio Manager, Equity PT Manulife Asset Manajemen Indonesia, Samuel Kesuma menuturkan, pemulihan ekonomi AS sebetulnya berdampak positif bagi negara Asia. Hal ini terutama pada negara yang berperan penting dalam rantai pasokan global seperti China, Korea Selatan, dan Taiwan.
“Pemulihan ekonomi Amerika Serikat akan meningkatkan permintaan barang produksi dari negara-negara tersebut sehingga akan berdampak positif bagi ekonominya,” ujar dia.
Ia memberikan gambaran mengenai pemulihan ekonomi AS tersebut. Samuel menuturkan, peningkatan satu persen produk domestik bruto (PDB) AS diperkirakan dapat meningkatkan PDB China dan Korea Selatan sekitar 0,12 persen.
Selain itu, beberapa negara Asia juga dalam kondisi ekonomi yang relatif lebih baik dibandingkan AS saat ini karena penanganan pandemi COVID-19 yang efektif sehingga ekonominya pulih lebih cepat.
Advertisement
Faktor Fundamental
Samuel menambahkan, faktor fundamental adalah pendorong utama kinerja pasar saham jangka panjang.
"Saat ini kami melihat fundamental ekonomi dan emiten Indonesia mengarah pada level yang lebih baik dibanding tahun lalu sehingga dapat berdampak positif pada kinerja saham,” ujar dia.
Ia menambahkan, beberapa faktor juga mendukung pandangan yang suportif bagi pasar saham. Pertama, proses vaksinasi COVID-19 yang membaik sehingga dapat mendorong pemulihan ekonomi dan keyakinan masyarakat dan dunia usaha.
Kedua, kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia yang lebih proaktif untuk mendukung pemulihan ekonomi melalui berbagai insentif seperti di sektor otomotif dan properti. Ketiga, pertumbuhan laba emiten yang diperkirakan membaik pada 2021 dibandingkan kontraksi yang terjadi pada 2020.