Faktor Ekonomi dan Budaya Pengaruhi Preferensi Rokok Elektrik

Sekitar 19,2 juta pengguna rokok elektrik atau vapers di Asia, sebanyak 2,1 juta orang berasal dari Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 22 Apr 2021, 17:14 WIB
Seorang pria meneteskan cairan vape atau rokok elektronik di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Selasa (12/11/2019). Pemerintah melalui BPOM mengusulkan pelarangan penggunaan rokok elektrik dan vape di Indonesia, salah satu usulannya melalui revisi PP Nomor 109 Tahun 2012. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Para aktivis pengurangan dampak buruk (PDB) tembakau menilai, kondisi ekonomi, politik, dan budaya tiap negara akan memengaruhi penerapan kebijakan PDB tembakau yang memanfaatkan produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL).

Di Asia, hal ini tercermin dari penggunaan variasi produk HPTL yang berbeda-beda. Rokok elektrik atau vape tergolong populer di Indonesia dan Malaysia, tetapi konsumen di Jepang dan Korea Selatan lebih menggandrungi tembakau yang dipanaskan (HTP).

Pembahasan ini mengemuka pada webinar yang membahas laporan The Global State of Tobacco Harm Reduction (GSTHR) berjudul “Tobacco Harm Reduction: A Burning Issue for Asia” yang diselenggarakan oleh Knowledge-Action-Change (KAC) dan Association of Vapers India (AVI) pada Minggu 18 April 2021 lalu.

“Solusinya harus berbasis regional dan lokal, sehingga produk yang dikembangkan tidak hanya terjangkau, tetapi juga pantas, dapat diterima, dan merupakan bagian dari tradisi masing-masing negara. Anggapan bahwa Asia merupakan kesatuan wilayah adalah pandangan yang salah. Setiap daerah memiliki budaya, pandangan, dan opini yang berbeda-beda (terhadap isu tembakau),” kata Direktur DrugWise sekaligus penulis laporan, Harry Shapiro dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (22/4/2021).

Laporan yang sama membuat estimasi bahwa ada sekitar 19,2 juta pengguna rokok elektrik atau vapers di Asia. Dari angka tersebut, 2,1 juta orang berasal dari Indonesia.

Pun demikian, jumlah tersebut hanya sekitar 1 persen dari populasi dewasa di Indonesia. Sebagai perbandingan, jumlah perokok konvensional di Indonesia mencapai 38,1 persen dari total populasi orang dewasa.

Perbedaan mencolok ini menunjukkan, diperlukan lebih banyak upaya edukasi dalam meningkatkan pemahaman dan penerapan kebijakan PDB tembakau.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Disrupsi Teknologi

Ilustrasi Rokok Elektrik atau Vape (iStockphoto)

Pertentangan antara aspek ekonomi dan kesehatan dianggap sebagai penyebab banyaknya negara Asia yang belum menerapkan kebijakan PDB tembakau.

Padahal, kebijakan PDB tembakau yang tepat berpotensi mendorong produsen dalam berinovasi mengembangkan produk berbasis teknologi yang lebih rendah risiko.

Jepang dapat menjadi studi kasus menarik. Sejak diperkenalkan pada 2014, produk HTP terus menunjukkan tren peningkatan. Pada saat yang bersamaan, produk tembakau konvensional mengalami penurunan hingga 32 persen, per data 2019. Bahkan, saat ini HTP menjadi produk berbasis tembakau ketiga terbesar di Jepang.

Selain melek teknologi, budaya sebagai masyarakat kolektif juga menjadi faktor pendorong keberhasilan penerapan PDB tembakau di negara tersebut.

Orientasi terhadap kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi, misalnya, menjadi landasan dalam memperbaiki sistem kesehatan publik terkait konsumsi tembakau. Penilaian ini ditegaskan oleh Direktur Eksekutif The Coalition of Asia Pacific Tobacco Harm Reduction Advocates (CAPHRA), Nancy Loucas.

“Intervensi kebijakan terhadap aspek kesehatan masyarakat membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Penerapan PDB tembakau perlu memanfaatkan teknologi, serta melibatkan pihak swasta dan konsumen, agar biaya tersebut dapat ditekan,” tutup Harry.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya