Oleh Enri Damanhuri, pengamat masalah persampahan Institut Teknologi Bandung.
Liputan6.com - Sampah sampai saat ini masih jadi salah satu permasalahan utama, bukan saja di kota-kota di Indonesia, namun juga di wilayah jauh dari perkotaan. Apalagi, penggunaan kemasan plastik tidak terbatas semata di daerah perkotaan. Salah satu kekhawatiran mendunia, yakni bahwa sampah plastik sudah menyebar secara masif ke lautan.
Regulasi dan Target
Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor 97/2017 mempunyai target pelayanan sampah sampai 100 persen pada 2025, dengan strategi pengurangan sebesar 30 persen. Pemerintah kota maupun kabupaten adalah institusi paling bertanggung jawab untuk mendukung pencapaian tersebut di daerah masing masing.
Khusus untuk mengurangi sampah plastik, pemerintah Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor 83/2018 menargetkan bahwa pada 2025, aliran sampah plastik ke laut dapat berkurang hingga 70 persen.
Baca Juga
Advertisement
Pemenuhannya membutuhkan upaya dan kemauan kuat semua pihak, mengingat pelayanan sampah di Indonesia saat ini belum mencapai 50 persen. Target tersebut membutuhkan kerja sama dan sinergi beberapa pihak, utamanya sektor industri pengguna pengemas plastik.
Pemerintah juga telah mengeluarkan pengaturan tentang peta jalan pengurangan sampah oleh produsen melalui peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 75/2019, yang berisi kewajiban produsen mengurangi sampah kemasan produk, baik melalui redesain, pemilihan jenis pengemas, maupun berkontribusi langsung dalam menangani sampah kemasan pascakonsumsi.
Beberapa media massa di Indonesia pada awal Maret 2021 memberitakan sebuah kerja sama menarik dalam pengelolaan sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Refuse Derived fuel (RDF), Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Kerja sama tersebut merupakan bentuk sinergi saling menguntungkan antar pemangku kepentingan dalam isu pengelolaan sampah yang dapat jadi contoh bagi daerah lain di Indonesia. Beberapa manfaat dari kerja sama yang akan diuraikan lebih lanjut dalam artikel ini adalah:
1. Pengurangan ketergantungan pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang selama ini merupakan andalan utama kota/kabupaten di Indonesia.
2. Pengurangan penggunaan bahan bakar fosil untuk kegiatan industri.
3. Peningkatan layanan pengumpulan sampah.
4. Peningkatan penanganan sampah plastik yang umumnya digunakan sebagai pengemas.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
RDF Sumber Energi Terbarukan
TPST RDF tersebut berlokasi di TPA Jeruk Legi, Cilacap, dan telah diresmikan Menteri Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, pada 21 Juli 2020. Fasilitas ini dibangun dengan kerja sama antara KLHK dan Kementerian PUPR, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cilacap, dan Pemerintah Denmark.
Fasilitas ini dioperasikan sebuah industri semen di daerah ini, sementara Pemkab Cilacap bertugas memasok sampah untuk diproses. Di awal operasional, fasilitas ini memproses sampah sebesar 120 ton per hari, terdiri dari 100 ton per hari dari kota Cilacap dan 20 ton per hari dari penambangan TPA Jeruk Legi.
Dari 120 ton per hari sampah masuk, dihasilkan sekitar 50 ton per hari RDF yang siap menggantikan peran batu bara yang selama ini digunakan industri semen tersebut. Dengan beroperasinya fasilitas ini, ketergantungan kota Cilacap terhadap TPA akan berkurang secara signifikan.
RDF merupakan teknologi yang diperkenalkan di negara industri pada akhir 1980-an, bertujuan mengolah sampah jadi bahan baku setara batu bara. Yang jadi pertimbangan utama dalam teknologi ini adalah kalor atau energi yang dikandung dalam sampah yang akan diolah, serta kadar air.
Sampah terdiri dari biomas, yang umumnya mempunyai nilai kalor sekitar 3.000-4.000 kkal/kg dalam kondisi kering, serta terdiri dari sampah plastik yang mempunyai nilai kalor sekitar 10.000 kkal/kg. Sebagai gambaran, batu bara yang biasanya digunakan industri semen mempunyai energi 5.000-8.000 kkal/kg.
Teknologi pengeringan yang dilakukan di TPST-RDF Cilacap adalah memanfaatkan kerja mikroorganisme dalam mengurai biomas di sampah, dihasilkan panas yang digunakan untuk mengeringkan sampah tersebut. Teknologi pengeringan ini dikenal sebagai biodrying.
Proses ini, kalau kondisinya baik, akan menghasilkan panas sampai 60--70 derajat celcius yang dapat menguapkan air pada sampah yang dipasok. Umumnya, RDF disebut baik bila kadar airnya di bawah 20 derajat celcius. Dari sudut biaya operasional pembuatan semen, RDF sebagai alternatif energi akan dapat mengurangi kebutuhan akan batu bara yang merupakan energi tak terbarukan.
Advertisement
Peningkatan Penanganan Sampah
Dalam acara awal Maret 2021, Pemkab Cilacap mengumumkan kesepakatan terbaru dengan produsen FMCG multinasional terkemuka yang berkantor di wilayah BSD, Tangerang. Komitmen perusahaan ini untuk membantu menangani masalah sampah plastik sudah tidak asing lagi, dan telah dimulai sejak lama.
Menurut laporan dan banyak berita, berbagai upaya, serta inovasi telah mereka lakukan dan kesepakatan ini jadi yang terbaru, di mana mereka ikut berperan dalam meningkatkan pelayanan sampah di Kabupaten Cilacap melalui pengadaan fasilitas dan pengoperasian pengangkutan sampah untuk daerah sekitar kota Cilacap.
Operasionalnya terkhusus pada tiga kecamatan, yaitu Sidareja, Kroya, dan Majenang untuk diproses lebih lanjut jadi RDF. Produsen ini berkomitmen meningkatkan kapasitas sampah terolah di fasilitas RDF Jeruk Legi dari sebanyak 120 ton/hari pada 2020 jadi lebih dari 200 ton/hari dalam lima tahun ke depan.
Bila ini tercapai, akan terjadi peningkatan penanganan sampah di daerah ini, yang terkendala dengan fasilitas dan operasional angkutan sampah, sehingga terjadi pengurangan sampah yang selama ini belum terkelola.
Penanganan Sampah Plastik Belum Terkelola
Sampah yang dihasilkan dari kegiatan sehari-hari tidak bisa lepas dari adanya sampah plastik, yang umumnya berbentuk pengemas. Perkiraan keberadaan sampah plastik berkisar antara 12--17 persen dari total berat sampah. Kegiatan pemulungan dan upaya pengurangan sampah seperti daur ulang jadi program utama pemerintah.
Namun, kenyataannya, tidak semua sampah plastik yang dibuang ke lingkungan punya nilai jual ke industri daur ulang plastik. Beberapa survei menghasilkan angka bahwa sampah plastik yang bernilai jual hanya berada di bawah 20 persen.
Artinya, sebagian besar plastik akhirnya akan ditimbun di TPA, atau yang lebih mengkhawatirkan lagi, akan dibuang di mana saja, khususnya ke sungai dan laut. Sekuat apa pun upaya kita dalam kegiatan daur ulang, tetap akan menghadapi kendala.
Bila sampah plastik dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari pemanfaatan teknologi RDF, upaya ini akan sangat berarti untuk mengurangi sampah plastik yang belum tertangani. Hal ini sejalan dengan kewajiban produsen melalui peta jalan pengurangan sampah dalam mengurangi beban sampah kemasan produk di lingkungan dengan memprosesnya jadi bahan RDF.
Idealnya, bagian sampah yang mempunyai nilai jual hendaknya dipilah masyarakat, dan tidak menjadi bagian dari bahan RDF. Dengan demikian, kegiatan yang dilakukan dalam bentuk kolaborasi dari tiga pihak, seperti diuraikan di atas, tidak saja menghasilkan banyak manfaat, namun akan mampu bersinergi dalam menciptakan kegiatan ekonomi sirkular.
Indikatornya, yakni memperlama umur TPA, menghemat bahan baku, mengurangi biaya produksi akibat penghematan sumber energi, mengurangi sampah plastik yang lari ke sungai, sekaligus tetap mempertahankan peran masyarakat dalam memanfaatkan sampah yang bernilai jual.
Melihat besarnya manfaat bentuk kolaborasi ini, sudah selayaknya Pemerintah Pusat mendorong Pemerintah Daerah lain untuk memasukkan skema kerja sama dalam rencana strategis pengelolaan sampah dengan melibatkan para pemangku kepentingan, seperti industri dan masyarakat.
Sebagai pengamat persampahan di Indonesia, Penulis sangat mengapresiasi kerja sama ini yang dapat jadi pelopor untuk kolaborasi-kolaborasi serupa di Tanah Air.
Advertisement