Dunia Beralih ke EBT, Sumber Pembiayaan Proyek Energi Fosil Semakin Sulit

Penggunaan energi baru terbarukan (EBT) tidak hanya berkonsentrasi pada masalah lingkungan, namun juga sektor ekonomi

oleh Athika Rahma diperbarui 26 Apr 2021, 09:30 WIB
Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 12 Tahun 2017 membuat peluang investari Energi Baru dan Terbarukan (EBT) semakin terbuka lebar.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto membeberkan urgensi dekarbonisasi dalam garapan proyek-proyek infrastruktur di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Menurut Airlangga, penggunaan energi baru terbarukan (EBT) tidak hanya berkonsentrasi pada masalah lingkungan, namun juga sektor ekonomi. Saat ini, lembaga penyedia dana memiliki preferensi mendanai proyek-proyek yang ramah lingkungan daripada proyek berbasis energi fosil.

"Biaya teknologi EBT semakin murah membuat EBT menjadi lebih kompetitif. Kita lihat sumber dan akses pembiayaan semakin sulit untuk fosil dan memudahkan untuk EBT," ujar Airlangga dalam webinar, Senin (26/4/2021).

Lanjutnya, pasar global mulai menilai produk hasil industri yang memiliki catatan carbon footprint yang rendah. Carbon footprint ialah jumlah gas efek rumah kaca termasuk karbon dioksida dan gas metana dari suatu kegiatan.

"Produk industri pengolahan dilihat dari hasil listriknya, sumber energi listrik dari fosil jadi tidak lebih menjanjikan daripada EBT. Hal ini tentu berdampak pada ekspor hasil produk industri pengolahan," ujar Airlangga.

Adapun, Indonesia sendiri memiliki potensi EBT yang beragam, mulai dari tenaga air, angin hingga matahari. Kendati, pemanfaatannya masih belum maksimal.

Tercatat, hingga akhir 2020, total kaapsitas listrik berbasis EBT mencapai 10,5 GW, dengan kapasitas terbesar dari tenaga air sebesar 6,1 GW dan panas bumi 2,1 GW.

"Bauran energi primer realisasinya 11,2 persen, meskipun masih jauh dari target 23 persen namun meningkat 2,05 persen dibanding 2019," ujarnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Menko Luhut Klaim Indonesia Jadi Acuan Negara Lain soal Pengelolaan EBT

PLTB ini bisa mengaliri listrik 360 ribu pelanggan 450 KV. Proyek ini bagian dari proyek percepatan pembangunan pembangkit 35.000 MW, sekaligus bagian dari upaya Pemerintah mencapai target bauran energi nasional 23 persen dari EBT pada 2025.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim Indonesia menjadi negara acuan dalam pengelolaan energi baru terbarukan (EBT). Sebab Indonesia dinilai melakukan pengelolaan EBT secara efisien.

"Indonesia sampai hari ini salah satu acuan yang efisien di dalam pengelolaan energi baru terbarukan," kata Luhut dalam Konferensi Pers dan Pameran Virtual Grab #LangkahHijau, Jakarta, Kamis, (22/4/2021).

Kata Luhut, masa transisi dari pengguna energi fosil ke EBT tidak akan lama. Sebab dalam waktu dekat, Indonesia akan meninggalkan energi fosil dan masuk ke energi bersih.

"Kita enggak terlalu lama tentu meninggalkan energi-energi fosil dan masuk ke energi-enegi terbarukan untuk hindari pemansan bumi," kata dia.

Pencapaian target pun terus dilakukan percepatan. Bila proses percepatan berjalan sesuai harapan, maka Indonesia bisa bebas dari penggunaan energi fosil sebelum tahun 2060.

Untuk itu, Pemerintah akan bekerja keras dan mengajak semua pihak untuk bekerja sama dalam menghilangkan emisi gas karbon lebih cepat dari sekarang.

"Saya undang teman-teman yang lain untuk bahu membahu membuat zero emisi ini bisa lebih cepat darinl target sekarang," kata dia.

Dia pun optimis target tersebut bisa tercapai sesuai harapan. Sebab Presiden Joko Widodo ingin Indonesia menjadi bagian dari dunia yang lebih ramah dan lebih hijau lagi.

"Saya yakin target itu bisa tercapai. Presiden ingin Indonesia menjadi bagian agar dunia lebih ramah lagi dan lebih hijau lagi," kata Luhut mengakhiri.

Anisyah Al Faqir

Merdeka.com 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya