Liputan6.com, Jakarta Kapal selam KRI Nanggala 402 tenggelam di kedalaman 838 meter perairan Bali pada Rabu, 21 April 2021. Limapuluh tiga awak kapal selam dinyatakan gugur dalam tugas.
Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono berjanji akan berusaha sekuat tenaga mengevakuasi badan KRI Naggala 402. Meskipun ia menyadari mengangkat badan kapal di kedalaman 838 meter ini sangat sulit.
Advertisement
"Karena dengan badan tekan yang masih utuh tadi, apakah ditarik, apakah ditusuk, diangkat seperti jangkar itu atau bagaimana nanti akan kita koordinasi," kata Yudo kepada Liputan6.com di Jakarta, Senin (26/4/2021).
Laksamana Yudo mengatakan, proses evakuasi KRI Nanggala-402 akan bekerja sama dengan The International Submarine Escape and Rescue Liaison Office (ISMERLO). Selain itu ada pula tawaran bantuan dari negara lain untuk mengangkat badan kapal.
"Namun demikian karena ini perlu keputusan pemerintah, saya akan mengajukan ke Panglima TNI yang secara berkelindan ke atas. Tentunya kalau pun sudah ada keputusan akan kita angkat kapal itu," kata Yudo.
Yudo juga mengaku sudah berkomitmen kepada Korps Hiu Kencana untuk mengangkat badan KRI Nanggala 402.
Para awak kapal selam KRI Nanggala-402 merupakan bagian dari Korps Hiu Kencana yang merupakan satuan khusus kapal selam di TNI AL.
"Kami berkomitmen, juga kepada (Korps) Hiu Kencana, meminta agar kapal ini dapat diangkat. Tentunya ini langkah berikutnya yang kita ajukan ke atas," kata dia.
Meski begitu, Yudo tidak bisa memastikan berapa lama proses pengangkatan badan KRI Nanggala 402. Sebab, evakuasi dari laut sedalam 838 meter adalah peristiwa langka.
"Ini sangat langka, tentang evakuasi dari laut dalam yang sampai 838 meter, (evakuasi) enggak bisa kita tentukan sekarang," ujar Yudo.
Apalagi, kata dia, mengevakuasi KRI Nanggala 402 harus dilakukan hati-hati karena tidak hanya sekedar diangkat ke permukaan namun juga untuk investigasi penyebab kapal tenggelam.
"Investigasi menyeluruh karena kita juga masih memiliki kapal selam sejenis dan kapal lainnya. Saya kira ini harapan kita, dengan investigasi, tidak terjadi lagi di masa akan datang," kata dia.
Sementara, awak kapal selam tersebut akan dievakuasi menuju Surabaya dan juga Banyuwangi.
"Untuk jenazah akan dievakuasi ke Surabaya. Kalau sudah terangkat akan dibawa ke sana atau sesuai dengan permintaan keluarga, karena keluarga di Banyuwangi ini ada tiga orang," ujar dia.
Yudo Margono menyatakan KRI Nanggala 402 dinyatakan terbelah menjadi 3 bagian. Hal tersebut berdasarkan hasil pemindaian dari KRI Rigel yang kemudian dibantu oleh MV Swift Rescue yang mengeluarkan ROV.
Dia menjelaskan berdasarkan ROV dari MV Swift Rescue tersebut ditemukannya bagian KRI Nanggala 402. Lokasinya yakni pada kedalaman 838 meter atau tepatnya 1.500 yard dari datum satu tempat tenggelamnya KRI Nanggala 402.
Menurut Yudo, pecahan lain seperti jangkar hingga baju keselamatan turut menuntun petugas ke lokasi tenggelamnya kapal selam.
Yudo kemudian menyebut, sejumlah retakan juga ditemukan di badan kapal selam. Kondisi pecahan lainnya juga tampak menyusut akibat tekanan air laut.
"Kondisi sub-sunk pada kedalaman 838 meter seperti ini sangat kecil kemungkinan awak KRI Nanggala dapat diselamatkan," ucap dia.
Faktor Alam
Yudo yakin tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402 di Perairan Selat Bali bukan disebabkan oleh kesalahan manusia. Sebab saat proses menyelam sudah melalui prosedur yang benar.
"Jadi mulai laporan penyelaman, kemudian bagaimana melaksanakan peran-peran pelaksanaan, penyelaman, dan sebagainya, dan saat menyelam diketahui lampu masih menyala semua artinya tidak blackout. Nah saat menyelam langsung hilang," kata Yudo.
Inilah, kata dia, yang akan diinvestigasi usai badan KRI Nanggala 402 sudah dievakuasi.
"Saya berkeyakinan ini bukan human error tapi lebih kepada faktor alam," ujar dia.
Pada Minggu, 25 April 2021, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengumumkan seluruh awaknya KRI Nanggala telah gugur.
"53 personel onboard telah gugur, prajurit-prajurit terbaik Hiu Kencana telah gugur saat melaksanakan tugas di perairan utara Bali," ujar Panglima TNI.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Hanya Bisa Menggunakan ROV
Wakil Direktur Inovasi dan Kawasan Sains Teknologi (DIKST) ITS Kriyo Sambodho menilai evakuasi KRI Nanggala 402 tidak perlu dilakukan seluruhnya, mengingat kedalaman kapal yang tidak bisa diselam oleh manusia.
"Kita tidak punya armada untuk evakuasi jadi kalau kedalaman 800 meter itu bukan manusia yang ke sana tapi ROV," kata Kriyo kepada Liputan6.com.
Dia menilai, akan sulit mengevakuasi kapal selam dengan bobot 1,395 ton itu. Untuk itu, yang hanya perlu dievakuasi adalah jenazah, pakaian, tanda pengenal agar memberikan rasa tenang pada keluarga. Kemudian pada bagian kapal adalah yang kira-kira menjadi sebab kegagalan, seperti pompa, bagian kapal dinding, baterai, dan kemudi kapal.
"Yang kira-kira menjadi indikasi di situlah terjadi kerusakan. Jadi apa misalnya pompa kapal, kemudi, itu saja yang pikir yang paling penting evakuasi," ujar Pakar Teknik Kelautan ini.
Namun, dia menekankan yang bisa membawa benda-benda tersebut ke permukaan hanyalah ROV seperti yang dibawa oleh MV Swift Rescue milik Singapura.
"Metode jelas unman, kedalaman 800 meter menurunkan unman, ROV tidak ada manusia di sana hanya semacam robot selam dengan lengan lengan robot. Senyampang ROV bisa mengikatkan tali ke badan-badan reruntuhan kapal yang bisa dievakuasi dan tentunya jenazah diangkat ROV di bawa ke atas, ROV dikemudikan dari permukaan," ujar dia.
Evakuasi, kata dia, juga tidak bisa dilakukan oleh kapal selam, sebab kapal yang ada di Indonesia hanya mampu menyelam sedalam 200-300 meter.
"Banyak dilihat dari banyak data kapal selam yang dimiliki Amerika pun kadang hanya sampi 280 meter," kata Kriyo.
Kriyo mengatakan, biasanya jika evakuasi dilakukan pada hal yang penting maka hanya membutuhkan 5 hari.
"Biasanya pekerjaan begini seminggu tuntas harus ada hasil lah," tandas Kriyo.
Sementara Pakar Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Wisnu Wardhana menuturkan evakuasi kapal selam bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan.
Rumitnya evakuasi KRI Nanggala 402 dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya kedalaman laut tempat kapal tersebut tenggelam.
"Itu bisa saja dievakuasi tapi tetap semua itu tergantung lokasi di mana itu (kapal) berada tingkat kesulitan lokasi itu bagaimana," kata Wisnu kepada Liputan6.com di Jakarta.
Wisnu mengatakan membutuhkan waktu yang sangat lama dan peralatan ekstra untuk mengevakuasi KRI Nanggala 402. Sebab bobot kapal selam itu diperkirakan mencapai 1.400 ton.
"Itu berat karena 1.400 ton bayangkan itu harus diangkat dari daerah situ 838 meter. (Kapal) itu bukan barang yang ringan jadi memang harus ada usaha yang keras untuk melakukan itu," kata Wisnu.
Evakuasi, kata dia, bisa dengan menggunakan tongkang atau pelampung kemudian dihembuskan ke udara.
"Bisa dengan tongkang atau pelampung yang dikaitkan ke kapal kemudian pelampungnya itu di hembuskan udara sehingga terangkat ke permukaan," ujar dia.
Wisnu meyakini jenazah 53 awak KRI Nanggala 402 masih berada dalam kapal. Sehingga jenazah baru bisa dievakuasi ketika kapal sudah diangkat ke permukaan.
"Iya masih di dalam situ, dalam keadaan meninggal," tandas Wisnu.
Advertisement
Modernisasi Alutsista
KRI Nanggala 402 dibangun oleh pabrikan asal Jerman, Howaldtswerke-Deutsche Werft, kapal selam ini resmi berlayar pada 21 Oktober 1981 dengan bobot mencapai 1.285 ton di permukaan dan 1.390 saat menyelam. Sudah puluhan tahun kapal selam ini berlayar.
Anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (purn) TB Hasanuddin mengungkapkan bahwa KRI Nanggala 402 itu diretrofit tahun 2012 dengan menghabiskan anggaran sekitar USD 75 juta atau sekitar Rp 1,05 triliun.
"Retrofit itu bukan sekedar mengganti suku cadang, tapi diperkirakan juga ada perubahan kontruksi dari kapal selam tersebut terutama pada sistem senjata torpedonya ," tutur Hasanuddin kepada Liputan6.com.
Di tahun yang sama, kata dia, KRI Nanggala 402 melakukan uji penembakan tetapi gagal lantaran torpedonya tak bisa diluncurkan karena sistem penutupnya bermasalah. Dalam peristiwa itu 3 orang prajurit gugur.
Kemudian, kapal selam itu diperbaiki lagi oleh team dari Korea Selatan. "Saya menduga pada hasil perbaikan ini ada hal-hal atau konstruksi yang tidak tepat sehingga KRI Nanggala 402 tenggelam. Ini sangat disayangkan," tuturnya.
Seperti diketahui, KRI Nanggala 402 memang pernah mengalami perbaikan di Korea Selatan dan selesai pada 2012 silam. Pada perbaikan ini, sebagian struktur atas kapal diganti dan sistem persenjataan, sonar, radar, kendali tempur, dan propulsi dimutakhirkan.
Oleh karena itu, Hasanuddin meminta agar kapal selam sejenis yakni KRI Cakra 401 sebaiknya di-grounded dulu.
Selain itu, Hasanuddin juga menyoroti jumlah kru KRI Nanggala 402 yang melebihi kapasitas. Menurutnya, jumlah kru maksimal kapal selam itu mestinya hanya 38 orang.
"Pada saat hilang kontak KRI Nanggala 402 itu membawa 53 awak, artinya kelebihan beban 15 orang. Ada apa kok dipaksakan? Saya juga mendapat informasi bahwa saat menyelam KRI Nanggala 402 diduga tak membawa oksigen gel, tapi tetap diperintah untuk berlayar," tandasnya.
Sementara Komisi I DPR Farah Puteri Nahlia, meminta pemerintah memprioritaskan agenda modernisasi alutsista.
Termasuk mengevaluasi seluruh kegiatan dan penganggaran yang tidak berkaitan dengan tugas utama TNI sebagai alat pertahanan.
"Penguatan modernisasi alutsista TNI merupakan kebutuhan yang mendesak mengingat kondisi alutsista yang masih terbatas," tutur Farah.
Dengan peremajaan alutsista, kata Farah akan menjadi bukti kepedulian pemerintah terhadap prajurit TNI baik Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU).
Selain itu, TNI dan Kementerian Pertahanan, perlu juga mengevaluasi seluruh alutsista tua yang masih digunakan.
"Selain itu untuk menghindari musibah serupa, TNI perlu menghentikan untuk sementara pengoperasian kapal selam sejenis yakni KRI Cakra 401 hingga ada kepastian dan kesiapan yang sempurna dari kapal selam tersebut," jelas dia.
Dia berharap, untuk alutsista dengan tahun produksi 1980-an, sudah selayaknya diganti dengan yang lebih baru.
"Jangan sampai karena keterbatasan alutsista, penggunaan alutsista yang diduga telah obsolete menghambat tugas-tugas prajurit TNI dan bahkan membahayakan nyawa prajurit," Farah menandaskan.