Liputan6.com, Jakarta American Academy of Pediatrics mengatakan bahwa anak-anak penyandang disabilitas setidaknya tiga kali lebih mungkin mengalami pelecehan dan penelantaran dibandingkan anak-anak lain. Dan, kasus penganiayaan seperti itu kemungkinan besar tidak dilaporkan karena banyak dari anak-anak ini mengalami kesulitan komunikasi dan tidak dapat melaporkan masalah.
Panduan tersebut mencatat beberapa faktor yang dapat menjelaskan peningkatan risiko ini. Mungkin karena keluarga kewalahan akan kompleksitas kebutuhan anak-anak mereka, ditambah dengan tuntutan keuangan atau kurangnya istirahat. Orang tua mungkin juga melebih-lebihkan kemampuan anak mereka dan menggunakan hukuman fisik untuk mengatasi perilaku keras kepala.
Advertisement
Ditambah menurut dokter pediatri, penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dengan disabilitas ringan sebenarnya lebih berisiko mengalami pelecehan dan penelantaran daripada mereka yang memiliki disabilitas yang lebih signifikan.
“Mengasuh anak penyandang disabilitas seringkali merupakan tantangan. Beberapa anak penyandang disabilitas merespons secara berbeda terhadap cara-cara yang biasa kita pikirkan tentang disiplin dan memperkuat perilaku yang baik. Ini bisa membuat frustrasi dan menambah stres pengasuh,” kata seorang dokter anak di Chicago Medical School dan penulis laporan klinis, Larry W. Desch, dikutip dari Disabilityscoop.
Simak Video Berikut Ini:
Dokter harus berperan aktif
Dokter anak harus berperan aktif dalam menilai kesejahteraan keluarga pada setiap kunjungan medis dan mendiskusikan disiplin ilmu yang sesuai, kata laporan tersebut.
Keluarga juga harus diberikan harapan yang sewajarnya terkait anak mereka, dengan menawarkan ide-ide konkret tentang bagaimana menanggapi tantangan perkembangan yang dihadapi anak-anak dan memberikan rujukan ke sumber daya dan lembaga lokal untuk mendapatkan dukungan.
Selain itu, dokter harus mengenali tanda-tanda penganiayaan dan jika sesuai untuk segera melaporkan kekhawatirannya kepada pihak berwenang. Namun, pedoman tersebut menunjukkan bahwa dokter anak juga memiliki tanggung jawab untuk mendokumentasikan perilaku yang membahayakan diri sendiri dan faktor lain yang mungkin menjadi kunci dalam membedakan apakah cedera mungkin merupakan akibat dari pelecehan atau tidak.
“Sebagai dokter anak, kami melihat keluarga setiap hari yang berusaha melakukan yang terbaik untuk anak-anak mereka tetapi mungkin kurang memiliki keterampilan dan sumber daya untuk membantu mengelola stres atau keadaan sulit,” kata Lori A. Legano dari Universitas New York, penulis utama dari laporan tersebut.
“Dokter anak dapat menawarkan perspektif yang tidak menghakimi, membantu keluarga fokus pada kekuatan anak mereka dan membimbing mereka melewati masa-masa sulit,” katanya.
Advertisement