29 April 2006: Tuban Mencekam yang Berujung Jam Malam

Hari itu terjadi kerusuhan akibat adanya penolakan hasil Pemilihan Bupati (Pilbup) oleh ribuan massa dari PDIP dan PKB di Tuban Jawa Timur.

oleh Yopi Makdori diperbarui 29 Apr 2021, 07:33 WIB
Ilustrasi garis polisi. (Liputan6.com/Raden Trimutia Hatta)

 

Liputan6.com, Jakarta - Sabtu, 29 April 2006 menjadi hari yang mungkin masih menyisakan trauma bagi sebagian masyarakat Tuban, Jawa Timur. Hari itu terjadi kerusuhan akibat adanya penolakan hasil Pemilihan Bupati (Pilbup) oleh ribuan massa di kabupaten di utara Pulau Jawa itu.

Dikutip dari Kompas.com, 4 Maret 2011, peristiwa tersebut menyebabkan kerusakan bangunan di sejumlah titik, termasuk kantor-kantor pemerintahan. Tercatat kerusakan juga menimpa pendopo bupati, gedung KORPRI, kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Bahkan mobil-mobil dinas pun tak luput dari amukan massa. Properti milik keluarga petahana Haeny Relawati Rini Widiastuti berupa Gudang 99 juga mengalami hal serupa. 

Rumah pribadi suami Haeny, Ali Hasan yang terletak serta rumah mewahnya tak ketinggalan jadi incaran massa yang bertindak brutal.

Saat itu pihak keamanan segera menerapkan jam malam. Hal itu lantaran situasi di Tuban makin mencekam. 

Polisi juga menangkap sejumlah orang yang dianggap sebagai dalang kerusuhan. Bahkan politisi, Miyadi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Go Tjong Ping alias Teguh Prabowo calon wakil bupati pasangan Noor Nahar Hussein ditahan.

Kerusuhan di Tuban bermula dari pemilihan bupati dan wakilnya pada 27 April 2006. Data Liputan6.com, 29 April 2006 menyebutkan, pemilihan ini diikuti pasangan Haeny Relawati Rini Widyastuti-Lilik Soehardjono yang dijagokan Partai Golongan Karya (Golkar).

Mereka menang tipis dari duet Nahar Husein-Go Tjo Ping yang didukung PDIP serta PKB. Haeny-Lilik memperoleh 51,74 persen suara sedangkan Nahar-Go memperoleh 48,26 suara.

Tak terima dengan kekalahan ini, massa PDIP dan PKB mengamuk. Padahal hasil penghitungan suara ini belum disahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Tuban. Namun demikian, para pendukung pasangan Nahar dan Go telah menolak hasil tersebut dan menuntut pilkada ulang.

Belakangan, unjuk rasa berakhir anarkis. Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Timur, Kusnadi menanggapi dingin kerusuhan tersebut. Menurut dia, aksi itu adalah puncak kekesalan warganya yang menilai pemilihan tersebut diwarnai kecurangan. Antara lain, dugaan penggelembungan suara dan politik uang.

Pihak PDIP Jawa Timur juga tak khawatir kekerasan ini akan menjatuhkan kredibilitas partai. Sebab, menurut Kusnadi, aksi ini merupakan reaksi ketika demokrasi tak berjalan secara adil. Apalagi sejumlah cara yang ditempuh pihaknya selalu buntu.

"Ini suatu nilai yang harus dibayar karena demokrasi tak berjalan adil," ungkap Kusnadi.

Senada dengan pernyataan Kusnadi, Ketua PKB Jatim, Imam Nahrawi juga tak terlalu menyalahkan anggotanya. Yang perlu diperhatikan, menurut Imam adalah pelaksanaan pilkada yang tak berjalan mulus.

Antara lain, muncul indikasi penggelembungan suara dan pemilih fiktif. "Saya kira, itu salah satu penyelesaian," ujar Imam.

Kendati demikian, kedua tokoh partai politik daerah ini mengimbau warganya untuk kembali tenang. Mereka mendukung polisi yang akan menyelesaikan kasus ini secara hukum. Kusnadi dan Imam juga meminta polisi tak hanya menangkap massa yang terlibat kerusuhan. Tapi juga pihak-pihak yang mencoreng pelaksanaan pilkada.

"Saya minta polisi bertindak secara adil," ujar Imam.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Laporan Indikasi Kecurangan Tak Digubris

Sementara itu, kandidat wakil bupati Tuban Go Tjo Ping saat itu membenarkan aksi massa di sana berawal dari ketidakpuasan terhadap hasil pilkada. Pendukungnya kecewa karena laporan dugaan kecurangan dalam pemilihan bupati-wakil bupati Tuban tak dihiraukan KPU Tuban.

"Memang ada unjuk rasa kepada KPU yang intinya meminta daftar pemilih yang sah. Tapi nggak dikasih," kata Go.

Permintaan daftar pemilih yang sah itu untuk membuktikan dugaan pemilih fiktif saat pencoblosan. Pasalnya, menurut Go, banyak penduduk dari perbatasan datang ke Tuban saat pemilihan. Bahkan dari satu tempat pemungutan suara ada sekitar 79 suara dari pemilih yang tak dikenal.

"Mereka berasal dari Jawa tengah, Bojonegoro dan sekitarnya," lanjut Go.

Mengenai perusakan dan pembakaran, Go mengaku menyayangkan kejadian ini. Apalagi Go telah bertekad untuk mengatur akhlak pendukungnya. Karena itu, saat itu ia mengaku terkejut unjuk melihat unjuk rasa berakhir anarkis.

"Ini kelihatannya dendam pribadi yang dilakukan masyarakat terhadap suami ibu Haeny," kata Go.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya