Wajah Trotoar Ibu Kota: Pemprov DKI Abai atau Kita yang Egois?

Upaya Pemprov DKI merevitalisasi trotoar untuk kepentingan pejalan kaki ternyata belum sepenuhnya berhasil. Masih banyak pihak yang tidak mendukungnya.

oleh Ady AnugrahadiIka Defianti diperbarui 02 Mei 2021, 13:21 WIB
Kendaraan terparkir di sekitar trotoar kawasan Jatinegara, Jakarta, Selasa (14/7/2020). Tidak adanya sanksi tegas membuat trotoar yang telah diperlebar tersebut justru dimanfaatkan sebagai lahan parkir liar yang mengganggu ketertiban umum. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Petang itu, hujan deras mengguyur wilayah Ibu Kota. Udara dingin terasa menusuk kulit. Kami berkeliling Jakarta dengan minibus hitam, sekadar jalan-jalan sambil melihat pemandangan kota.

Arus lalu lintas di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat terpantau padat. Sesekali terdengar bunyi klakson kendaraan bersahutan. Maklum saja, saat itu jam pulang kerja. Semua ingin paling cepat sampai tujuan.

Kilat petir turut mewarnai kemacetan Jakarta di tengah gelapnya Senin malam, 12 April 2021. Gemuruh guntur memekakkan telinga. Sepanjang perjalanan, mata kami tertuju pada trotoar di sebelah kiri jalan yang telah banyak berubah.

Trotoar di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman-MH Thamrin tampak begitu luas dan cantik. Bukan hanya di jalan protokol, wajah baru pedestrian juga terlihat di beberapa ruas jalan ibu kota, salah satunya di Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta. 

Namun keindahan trotoar yang ada di sepanjang Jalan KH Wahid Hasyim tercoreng dengan keberadaan beberapa kendaraan yang parkir di atas jalur pedestrian. Beberapa mobil terparkir menutup akses pejalan kaki.

Sementara itu, cuaca yang dingin membuat perut kami keroncongan. Kami pun memelankan laju kendaraan. Bola mata kami melirik rumah makan yang masih buka. Dari kejauhan terlihat seorang pria berbadan gempal bergegas menghampiri kami sambil membawa payung.

Sejurus kemudian, dia menggerakkan tangannya mengarahkan kendaraan kami ke trotoar yang masih kosong. Rupanya ia seorang juru parkir.

Seperti terhipnotis, kami menuruti saja arahannya. Meski sopir kami sempat mengungkapkan rasa khawatir kendaraannya diderek petugas Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta karena melihat ada rambu-rambu larangan parkir.

Tapi celetukan tukang parkir sedikit melenyapkan kekhawatiran itu. "Aman, udah aman," kata pria berkumis tipis tersebut.

Ditinggal duduk sebentar, beberapa kendaraan telah membuat sesak trotoar yang disulap jadi area parkir untuk kendaraan roda dua dan empat. Seorang pejalan kaki terlihat kesulitan lewat. Dia bahkan terpaksa melangkah di bahu jalan dan bergelut dengan genangan air.

Nando, pria yang kami temui itu menunjukkan wajah kesal melihat tingkah orang-orang yang seenaknya mengambil alih area khusus pejalan kaki. Menurut Nando, trotoar semestinya menjadi fasilitas pejalan kaki, namun faktanya justru banyak dimanfaatkan menjadi kantong parkir liar.

"Saya merasa terganggu, fungsi utama jalur pedestrian untuk pejalan kaki. Ini kok jadi tempat parkir liar," ujar Nando.

Nando tak berharap muluk-muluk. Dia hanya meminta petugas menindak pengendara yang bandel. Menurut dia, Gubernur DKI Jakarta telah bekerja keras mempercantik trotoar. Dia ingat betul, dahulu trotoar tak sebagus sekarang.

"Mungkin petugas harus sering-sering turun ke jalan untuk menertibkan," ucapnya.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Diperkosa Motor dan PKL

Sejumlah pengendara sepeda motor nekat menaiki jalur trotoar untuk menghindari kemacetan di Jalan Casablanca, Jakarta, Senin (8/1) (Liputan6.com/Arya Manggala Nuswantoro)

Pengalaman tak mengenakkan juga sering dialami Ketua Koalisi Pejalan Kaki, Alfred Sitorus. Dia beberapa kali bersitegang dengan pengendara sepeda motor yang "memperkosa" trotoar.

"Diklakson pengendara sepeda motor sangat sering lah, disuruh minggir dulu, katanya pengendara sepeda motor mau lewat," kata Alfred saat berbincang dengan Liputan6.com belum lama ini.

Pengalaman yang tak kalah pahit adalah ketika dia diusir pedagang kaki lima (PKL) yang membuka lapaknya di atas trotoar. Saat itu ia berjalan kaki dari arah Blok M menuju kawasan Panglima Polim. Pedagang kaki lima telah berjejer di jalur pedestrian.

Terlihat bangku-bangku dan meja milik pedagang kaki lima telah tertata rapi di atas jalur pedestrian. Merasa berhak menggunakan trotoar, Alfred memilih terus melangkahkan kakinya melewati celah bangku-bangku yang sebagian telah diduduki pembeli.

Alih-alih diberi jalan, Alfred malah ditegur dan diusir. "Sebenarnya saya berjalan di belakang orang yang makan. Tapi seakan-akan trotoar milik para pedagang kaki lima. Saya ditegur, 'woi jalannya di jalan raya, ini tidak lihat apa orang lagi pada makan'. Kita seakan-akan jadi orang yang bersalah," katanya.

Menurut Alfred, trotoar menjadi salah satu fasilitas yang disediakan pemerintah untuk pejalan kaki. Pemprov DKI Jakarta menargetkan merevitalisasi 2.600 kilometer trotoar.

Koalisi Pejalan Kaki mencatat, dalam kurun 2016 hingga 2020 kurang lebih ada 400 kilometer trotoar yang telah dirancang ulang oleh Pemprov DKI Jakarta. Alfred mengambil contoh revitalisasi pedestrian di Jalan Jenderal Sudirman-MH Thamrin serta Jalan KH Wahid Hasyim.

Menurut Alfred, penataan trotoar tersebut sudah merujuk pada Peraturan Menteri (Permen) PUPR Nomor 03/PRT/M/2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan.

"Mereka menerapkan lebar minimum trotoar 1,5 meter karena dipersyaratkan oleh Permen PUPR. Mereka mengikuti aturan, dan Pemprov sudah membangun lebih dari itu lebarnya," tuturnya.

Trotoar di Jalan Wahid Hasyim dan Jalan Sudirman-Thamrin pun telah diaudit sosial oleh Koalisi Pejalan Kaki bersama komunitas penyandang disabilitas. Menurut Alfred, penyandang disabilitas merasa cukup puas terhadap kinerja Pemprov DKI meregenerasi trotoar di kawasan Jalan Wahid Hasyim dan Jalan Sudirman-Thamrin.

"Mereka cukup puas terhadap akses. Dari sisi akses sudah cukup bagus ya, dari mulai ramp, jadi mereka sudah mulai meminimalisir konflik pejalan kaki dengan beberapa konflik, utamanya dengan utilitas yang malang-melintang dan lain-lain. Jadi tiang-tiang diganti utilitas lewat bawah," terang Alfred.

Dia menerangkan, audit sosial fasilitas trotoar menjadi pekerjaan rutin bagi Koalisi Pejalan Kaki bersama komunitas penyandang disabilitas. Mereka menjajal trotoar yang telah rampung dibangun Pemprov DKI untuk memberikan penilaian. Selanjutnya, kekurangan akan disampaikan kepada dinas terkait untuk dievaluasi.

"Audit sederhana dari ujung trotoar misalnya apakah ram sudah memenuhi standar, jadi dari pengguna kursi roda gimana ini aksesnya?, apa terlalu curam, obstacle apalagi bagi penyandang tunanetra guiding block, terus bagaimana akses trotoar ke gedung, aksesibilitas semuanya kalau tiang terlalu dekat guiding block cukup ganggu tidak. Hal tersebut kita buatkan lockbook-nya kita sampaikan ke Pemprov DKI Jakarta," papar Alfred.

Pedagang kaki lima menjajakan dagangannya di trotoar kawasan Kebayoran Lama, Jakarta, Jumat (15/5/2020). Kondisi ini menyulitkan pejalan kaki yang akan melintasi trotoar di kawasan tersebut. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Namun di sisi lain, revitalisasi trotoar tentu menimbulkan persoalan laten seperti dijadikan tempat berdagang atau kantong parkir liar. Konflik-konflik semacam itu kerap mengintai pejalan kaki. Alfred meminta Pemprov DKI lebih tegas dalam hal penegakan hukum, bila perlu menggandeng kepolisian.

"Kita tahu di luar Pemprov ada kepolisian, libatkan mereka dalam melakukan penindakan," ucapnya.

Kendati demikian, Pemprov DKI juga diminta mencarikan solusi untuk pedagang kaki lima. Alfred menyatakan, dirinya tidak memusuhi pedagang kaki lima, tapi minta ditempatkan di lokasi yang tidak melanggar aturan. Menurut Alfred, UMKM perlu digerakkan agar roda perekonomian terus berputar.

"Tapi akan sangat salah ketika lokasi mereka sama aja bar-bar tidak memenuhi lokasi yang memang diperuntukkan untuk berdagang," ucap Alfred.

Sedangkan, pihak-pihak yang menjadikan trotoar sebagai tempat parkir liar harus ditindak tegas. "Jangan dibiarkan. Itu menjadi bagian mengurangi citra penghargaan DKI Jakarta. Sekarang DKI Jakarta lagi banyak dapat award, ketika tampilkan sisi lain kan menjadi seakan menampar muka sendiri," ucap dia.

Menurut Alfred, ada tiga komponen yang harus diperhatikan dalam membangun fasilitas publik seperti trotoar, yakni konektivitas, inklusivitas, dan workability. Tiga komponen bisa dijawab dengan membangun fasilitas yang ramah.

"Indikator paling tinggi bisa diakses oleh teman-teman difabel. Ketika sudah mengakses dengan baik, buat kota lebih dari ramah," katanya.

Karena itu, ke depan Pemprov DKI harus memikirkan pula potensi konflik yang masih muncul dari hulu sampai hilir, ketika merevitalisasi trotoar. "Setelah dibangun, konflik apa yang akan muncul, jadi itu sudah harus listing satu per satu agar bisa diantisipasi," ujar Alfred menandaskan.


Upaya Pembenahan Trotoar Pemprov DKI

Pekerja menyelesaikan proyek revitalisasi trotoar di kawasan Kemang, Jakarta, Kamis (31/10/2019). Revitalisasi trotoar Kemang yang ditargetkan rampung pada November 2019 ini untuk memaksimalkan kenyamanan pejalan kaki dan mendongkrak aktivitas ekonomi di kawasan tersebut. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Keberadaan trotoar di Ibu Kota tak dapat dipandang sebelah mata. Tak jarang masyarakat mengkritik keberadaan trotoar Jakarta yang kurang manusiawi. Begitu juga kencangnya kritik di dunia maya.

Untungnya, Pemprov DKI terbuka dengan masukan masyarakat. Perlahan tapi pasti, Pemprov DKI mulai berbenah. Trotoar mulai direvitalisasi untuk kenyamanan dan keselamatan para pejalan kaki.

Revitalisasi dan pembangunan pedestrian itu dimaksudkan untuk kesetaraan masyarakat Jakarta, mulai dari anak-anak, ibu hamil, lansia, hingga penyandang disabilitas.

Hal itu terlihat dari tersedianya ramp atau bidang miring, guiding block atau ubin pemandu di trotoar, hingga adanya pelican crossing. Selain itu, pedestrian dibuat semakin lebar agar warga dapat leluasa berjalan.

Ubin pemandu merupakan jalur khusus yang didesain untuk para penyandang disabilitas, terutama tunanetra. Jalur tersebut juga berstandar internasional.

Terdapat dua jenis ubin pemandu dalam trotoar tersebut, yaitu ubin pemandu dengan kontur garis empat memiliki arti untuk jalan, sedangkan ubin pemandu dengan kontur bulatan-bulatan kecil diartikan sebagai penanda untuk berhenti karena adanya perubahan situasi di sekitarnya. Seperti halnya jalur kendaraan menuju gedung ataupun pusat perkantoran.

Trotoar di Jakarta yang direvitalisasi memiliki spesifikasi, antara lain elevasi maksimal kurang lebih 20 sentimeter dari permukaan jalan. Dinas Bina Marga DKI juga memiliki standar tersendiri yaitu tipe 1 lebar trotoar lebih dari 5,5 meter.

Kemudian tipe dua lebar 5,5 meter-3,5 meter. Lalu tipe 3 lebar 3,5 meter-2 meter, dan tipe 4 dengan lebar 2 meter-1 meter.

Contohnya pedestrian di kawasan Sudirman-Thamrin, Jakarta Pusat. Awalnya, trotoar itu hanya berukuran 3-5 meter. Namun setelah direvitalisasi pada akhir 2017, ukurannya lebih lebar sekitar 8-12 meter.

Sedangkan untuk kawasan Jalan KH Wahid Hasyim telah direvitalisasi dari ukuran kurang dari 3 meter menjadi 4 sampai 6 meter. Bahkan fasilitas publik seperti kursi panjang telah disediakan.

Lalu tampak pula tanaman hias yang tumbuh di bagian tengah ataupun pinggir trotoar untuk membuat suasana semakin asri. Sedangkan, kawasan Dukuh Atas disulap menjadi Taman Kendal.

Saat ini terowongan Kendal yang dahulu digunakan untuk putar balik kendaraan bermotor, berubah menjadi lokasi dengan mural yang artistik. Perbaikan jalur pejalan kaki masuk dalam Rencana Jangka Menengah Pemerintah Daerah (RPJMD) 2017-2022.

Berdasarkan data Dinas Bina Marga, Pemprov DKI menargetkan penataan trotoar kurang lebih sepanjang 60 kilometer setiap tahunnya. Pada tahun 2016 realisasi penataan trotoar sepanjang 48 kilometer, tahun 2017 sepanjang 79 kilometer, dan pada 2018 panjang trotoar yang telah direvitalisasi mencapai 132 kilometer.

Kemudian pada tahun 2019 sepanjang 93 kilometer dan 2020 hanya terealisasi 2 kilometer. Sebab sebagian anggaran Pemprov DKI dialihkan untuk penanganan pandemi Covid-19. Sedangkan untuk tahun 2021-2022, direncanakan melakukan revitalisasi sepanjang 26 kilometer.

"Kalau kita bicara kota modern pertama kali yang kita prioritaskan adalah pejalan kaki atau memperbanyak pedestrian," kata Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta, Hari Nugroho dalam diskusi virtual.

Hari mengatakan, terdapat sejumlah kriteria pemilihan lokasi untuk memperbanyak pedestrian. Yakni terkait aksesibilitas dan mobilitas pergerakan orang hingga integrasi antarmoda transportasi.

Untuk revitalisasi tahun 2021 akan mulai dilakukan pada Mei hingga Desember. Selain menggunakan anggaran dari APBD, revitalisasi juga akan melalui pihak swasta atau koefisien lantai bangunan (KLB).

Berikut lokasi revitalisasi trotoar di DKI Jakarta pada tahun 2021:

- Jalan Senopati, Jalan Suryo, dan Jalan Wolter Monginsidi, Jakarta Selatan;

- Jalan Duri Kosambi Raya, Jakarta Barat;

- Jalan Tebet Raya, Jakarta Selatan;

- Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat;

- Jalan Puri Wangi, Jakarta Barat;

- Jalan Layur, Jakarta Timur;

- Jalan Sunter Permai Raya dan Jalan Danau Sunter Barat, Jakarta Utara (atau kawasan sekitar Jakarta International Stadium).

Upaya Pemprov DKI membenahi trotoar di Jakarta seharusnya didukung berbagai pihak. Termasuk dukungan berupa penindakan tegas bagi pihak-pihak yang melanggar aturan.

Dinas Perhubungan DKI Jakarta berwenang menindak pengendara yang parkir liar di trotoar. Hal tersebut mengacu pada Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 5 tahun 2014 tentang Transportasi. Pada pasal 62 dijelaskan bahwa petugas bakal menindak kendaraan bermotor yang berhenti atau parkir tidak pada tempatnya, misalnya di area pedestrian.

Penindakannya mulai dari penguncian ban kendaraan bermotor, pemindahan kendaraan dengan cara penderekan ke fasilitas parkir yang sudah ditetapkan, atau diderek ke tempat penyimpanan kendaraan bermotor yang disediakan oleh Pemerintah Daerah, hingga pencabutan pentil ban kendaraan bermotor.

Tak tanggung-tanggung, siapapun yang bandel melanggar aturan tersebut dapat dikenai sanksi seperti retribusi menarik atau menderek kendaraan bermotor, hingga retribusi penggunaan tempat penyimpanan kendaraan bermotor.

Biaya retribusi menjadi tanggung jawab pengemudi atau pemilik kendaraan sesuai dengan Peraturan Daerah tentang Retribusi Daerah.

Namun, aturan hanyalah aturan. Perlu dukungan semua pihak agar peraturan tersebut dapat membuat masyarakat nyaman menikmati fasilitas trotoar di Jakarta yang kini mulai dibenahi.

Rasa kesal Nando yang haknya sebagai pejalan kaki direbut pengendara motor untuk parkir seharusnya tidak terjadi lagi. Butuh kesadaran dari masing-masing warga selaku pengguna jalan dan pejalan kaki atas fungsi trotoar.

Begitu juga dengan dinas terkait, harus berani menindak tegas kendaraan yang menerobos trotoar. Kepada siapapun, tak pandang bulu.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya