Liputan6.com, Jakarta Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendesak pemerintah untuk menghentikan penerbitan izin usaha industri (IUI) minuman beralkohol yang baru dan menghentikan penambahan kuota produksi untuk IUI tersebut.
Advertisement
Sampai saat ini, pemerintah telah menerbitkan sebanyak 103 IUI Minuman Beralkohol bagi perusahaan yang beroperasi di berbagai daerah dengan volume produksi melampaui 500 juta liter setiap tahun.
Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas mengatakan, penerbitan IUI Minuman Beralkohol (Minol) yang baru harus dihentikan karena sangat berbahaya bagi masa depan generasi muda dan masyarakat umumnya.
"Ya harus disetop. Majelis Ulama Indonesia menilai industri miras ini sangat berbahaya. Menjadi tugas negara untuk melindungi rakyat agar rakyat sehat, tidak mabuk-mabukan, dan tidak kehilangan akal sehat," kata Anwar Abbas saat dihubungi di Jakarta, pada Rabu (28/4/2021).
Dia mengatakan MUI sangat menyesalkan sikap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang telah memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Minuman Beralkohol sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2021. Padahal Presiden Joko Widodo secara resmi telah mencabut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021, khususnya pada Lampiran III, Nomor 31, 32, dan 33 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal, terkait pembukaan IUI baru.
Pendapat senada juga diungkapkan Sekjen PBNU Helmy Faizal Zaini. Dia menilai investasi (penerbitan IUI baru) minuman beralkohol ini perlu dihentikan karena lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya.
“Investasi adalah hal baik, jika investasi itu mengandung unsur mudarat yang lebih membahayakan, tentu hal ini dilarang syariat,” tegas Helmy.
Menurut Helmy, Indonesia bukan negara agama, tapi negara berlandaskan Pancasila. PBNU, lanjutnya, secara konsisten menolak investasi minuman keras dibebaskan.
"Indonesia bukan negara sekuler. Indonesia adalah negara Pancasila yang berketuhanan. Karena itu, berbagai peraturan yang dikeluarkan pemerintah dan semua perilaku masyarakat harus berpedoman dengan nilai-nilai agama,” kata Helmy.
Secara terpisah, Anggota Panja RUU Larangan Minuman Beralkohol, Firman Soebagyo mengatakan diperlukan kehadiran negara dalam mengatur produksi dan distribusi minuman keras di Indonesia.
“Dalam pengaturan itu bisa dibatasi sampai tingkat berapa banyak, jangan dilepas. Tetapi jangan juga dilarang. Makanya negara harus mengatur,” kata Firman.
Politisi Partai Golkar itu mengatakan, apabila peredaran minuman beralkohol dilarang akan mengakibatkan melonjaknya peredaran minuman ilegal dari luar negeri di Indonesia.
“Itu akan merugikan, dari sisi tenaga kerja tak terserap, kita tidak bisa memantau, dan tidak ada kontribusi ke negara karena perdagangan gelap. Pengaturan inilah yang harus dilakukan. Kalau saya berpendapat pengaturan ini bisa dalam UU, bisa juga dalam bentuk Peraturan Menteri,” jelas Firman.
Sementara itu, Ketua Umum DPP Asosiasi Minuman Beralkohol Kearifan Lokal (AMBKL) Audy Lieke mengatakan, pengusaha minol meyakini pemerintah selaku regulator dan DPR akan mengambil kebijakan terbaik berdasarkan ideologi Pancasila.
Dia berharap pengusaha yang bersih dan legal akan dilindungi, serta diberikan kepastian hukum untuk mendukung pembangunan ekonomi bangsa, terutama pada masa pandemi Covid-19.
"Bertahun-tahun pengusaha menjadi penyumbang devisa negara melalui pembayaran cukai dan pajak dari industri minol. Peraturan yang ada saat ini, sudah sangat kompleks bagi perusahaan yang legal. Seluruh proses produksi dan distribusi diawasi secara sangat ketat,” jelas Audy.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Berharap Kemudahan dari Pemerintah
Audy mengatakan, aturan yang sangat kompleks itulah yang seharusnya diperhatikan dan diberikan kemudahan oleh pemerintah dan DPR agar minol yang beredar adalah produk legal yang memberikan kontribusi positif bagi pemasukan negara.
Audy khawatir apabila yang legal dipersulit, nantinya produk-produk yang ilegal akan merajalela. Terkait IUI dan kapasitas produksi yang sudah diterbitkan pemerintah pusat, ia meminta agar terus dijaga, mendapat dukungan pemerintah, dan masyarakat agar produk minol yang dihasilkan merupakan kualitas terbaik yang dapat di ekspor ke luar negeri.
"Terus terang, keputusannya bukan di kami. Biarlah pemerintah dan DPR yang mengambil keputusan terbaik,” ujar Audy.
Advertisement