Liputan6.com, Jakarta - Pada 30 April 2006, Indonesia kehilangan seorang sastrawan terbaik yang karya-karyanya tak lekang dimakan zaman. Karyanya begitu dinikmati para pencinta sastra. Dia adalah Pramoedya Ananta Toer atau yang akrab dipanggil Pram.
Kondisi Pram sendiri sebenarnya sudah memburuk pada awal 2006, namun dia masih sempat merayakan ulang tahunnya yang ke-81. Bahkan, pria kelahiran Blora Jawa Tengah, 2 Februari 1925 itu sempat menghadiri pameran cover bukunya yang dilarang terbit di Indonesia.
Advertisement
Pram dilarikan ke rumah Rumah Sakit St. Carolus Jakarta pada Kamis, 27 April 2006 karena keluhan nyeri di dada, sesak nafas dan lemah karena sudah seminggu tidak mau makan. Dia lalu dirawat di ruang perawatan intensif (ICU) selama semalam.
Kala itu, Pram masih sadarkan diri dan meminta untuk pulang ke rumah. Pihak keluarga pun membawanya ke rumah Pram lainnya di Utan Kayu. Namun, dia hanya bertahan tiga hari di rumah.
Sepanjang Sabtu malam sampai Minggu pagi, Pram berkali-kali melewati masa krisis. Dia sempat terjaga dan meminta lampu-lampu untuk dipadamkan serta bertanya, 'Apakah sampah sudah dibakar?'.
Harian Kompas (2006) menggambarkan saat-saat menjelang kematian sastrawan yang dinobatkan majalah TIME sebagai orang yang berpengaruh. SMS atau pesan singkat sudah bertebaran sejak Sabtu, 29 April 2006 malam di masyarakat dan mengabarkan bahwa Pram sudah meninggal dunia.
Kabar tersebut sempat dibantah dengan mengatakan Pram masih dalam kondisi kritis. Namun, akhirnya Pramoedya Ananta Toer diumunkan meninggal dunia di usia 81 tahun, Minggu 30 April pagi sekitar pukul 08.55 WIB di rumahnya kawasan Utan Kayu, Jakarta Timur karena komplikasi diabetes dan jantung.
Pramoedya Ananta Toer dimakamkan di TPU Karet Bivak Jakarta. Lagu Internasionale--lagu Komunis Internasional yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia--mengiringi jenazah Pram.
Kompas menyebut Pram memulai kariernya sebagai juru ketik di kantor berita Jepang, Domei pada 1942. Selain menulis, dia juga pernah bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Tulisan-tulisan Pramoedya kerap kali mengkritik kebijakan pemerintah Orde Lama. Idealisme dan keberaniannya itu membuat Pram menghabiskan hampir separuh hidupnya di balik tahanan dan penjara.
Saat era Presiden Sukarno, Pram masuk penjara karena bukunya Hoakiau di Indonesia yang mengkritik kebijakan bagi etnis Tionghoa. Kompas mengatakan Pram mendekam tiga tahun dalam penjara pemerintah Kolonial Belanda dan satu tahun dibui oleh Pemerintah Orde Lama.
Pada 1965, Pramoedya Ananta Toer diasingkan di Pulau Buru karena kiprahnya sebagai redaktur harian terbitan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) bentukan Partai Komunis Indonesia. Kendati begitu, Pram tetap semangat untuk melahirkan berbagai karya sastra di bakik jeruji.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Hari-Hari di Pulau Buru
Selama 14 tahun ditahan di Pulau Buru, Pram menulis Tetralogi Buru, Arus Balik, Arok Dedes, dan beberapa karya lainnya. Tetralogi Buru terdiri dari, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.
Saat akhirnya dipulangkan dari Pulau Buru, Pram masih dikurung lagi di penjara Banyumanik Magelang pada November-Desember 1979. Berdasarkan Kompas, hal itu dilalui Pram tanpa proses pengadilan.
Bahkan, ketika sudah dibebaskan serta dinyatakan tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI pada 11 Desember 1979, Pram dijadikan tahanan rumah, tahanan kota, tahanan negara. Dia diwajibkan lapor ke Kodim Jakarta Timur selama dua tahun.
Sosok Pram pun tak lepas dengan kontroversi. Saat mendapatkan Ramon Magsasay Award pada 1995, sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsasay.
Mereka menuduh Pram sebagai "pembunuh" sastrawan yang berada di luar Lekra. Seorang sastrawan netral seperti Iwan Simatupang dalam surat-suratnya termasuk yang mengeluhkan sepak terjang orang-orang Lekra yang dipimpin Pram.
Di usia tuanya, Pramoedya terus berkiprah. Karya terakhirnya Jalan Raya Pos, Jalan Daendles diterbitkan Oktober 2005. Dalam kondisi sakit, Pram juga terus mengerjakan sebuah ensiklopedia yang menjadi ambisinya.
Pemerintah sempat melarang hasil karya dari pemikirannya yang berjudul Bumi Manusia. Namun, karyanya tersebut justru mendapat pujian dan dianggap sebagai karya agung internasional. Selain itu, Bumi Manusia juga sudah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa.
Meski karyanya sempat dilarang pada zaman Orde Baru, saat ini siapa pun bisa membaca dan menikmati karya sastrawan terbaik Indonesia tersebut. Pramoedya kini masih dikenang sebagai penulis yang berani dan menghasilkan karya yang abadi oleh para penggemarnya.
Advertisement