Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan program pemberian bantuan sosial (bansos) untuk segera disalurkan. Himbauan itu diberikannya karena angka penyaluran program perlindungan sosial seperti bantuan langsung tunai (BLT) desa masih terlampau kecil.
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini mencermati, pencairan BLT desa hingga April 2021 ini baru sekitar Rp 1,5 triliun, atau sekitar 32 persen dari total pagu yang ada.
Advertisement
"Jadi segera cairkan BLT desa. Karena yang saya lihat per April kemarin yang sudah tersalurkan baru 32 persen. Masih kecil sekali, 32 persen, baru Rp 1,5 triliun," kata Jokowi dalam siaran video Pengarahan Presiden RI kepada Kepala Daerah se-Indonesia Tahun 2021, Kamis (29/4/2021).
Jokowi terus mendorong pemda agar secepatnya dapat menyalurkan BLT desa, bantuan UMKM, hingga program bansos lainnya. Sebab itu secara otomatis akan menggerakan pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional.
"Dorong agar ini bisa diterima oleh masyarakat. Tersampaikan kepada masyarakat, sehingga mereka bisa belanja. Kalau ada belanja, artinya ada permintaan. Kalau ada permintaan akan ada pertumbuhan ekonomi di daerah itu," imbuhnya.
Dia pun tak mau pemerintah daerah abai akan arahannya tersebut. Sebab Jokowi mengaku selalu mengikuti pergerakan angka dari penyaluran bansos dan BLT desa.
"Sehingga saya ingatkan kembali karena itu penting bagi pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional. Kalau daerah ada pertumbuhan ekonomi, secara agregat akan jadi pertumbuhan ekonomi nasional," ujar Jokowi.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Hasil Kajian UI: Dapat Bansos, Konsumsi Rokok Masyarakat Meningkat
Sebelumnya, pemerintah kembali melanjutkan program Bantuan Sosial (Bansos) di tahun 2021 ini untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di masa pandemi Covid-19. Ketiga program Bansos yang diberikan, yaitu Program Keluarga Harapan (PKH), Program Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT/sembako), dan Program Bantuan Sosial (BST).
Program Bansos yang telah dijalankan oleh pemerintah secara teoritis akan meningkatkan daya beli masyarakat, sehingga penerima Bansos dapat memanfaatkan dana bantuan untuk keluarga. Tetapi, bisa juga dipergunakan untuk pembelian hal-hal yang kurang bermanfaat seperti rokok.
Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) menyebutkan, pemberian dana Bansos memang tidak serta merta membuat penerima yang semula tidak merokok menjadi merokok.
Namun hasil analisis Tim PKJS-UI menunjukkan bahwa dana Bansos yang diterima oleh keluarga dengan adanya anggota yang merokok memiliki intensitas konsumsi rokok yang lebih besar dibandingkan non penerima, terlepas dari status sosial-ekonominya.
Penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) cenderung meningkatkan konsumsi rokoknya sebesar 0,258 batang per hari (atau 1,81 batang per minggu) lebih banyak dibandingkan mereka yang bukan penerima. Peningkatan intensitas terbesar terjadi pada penerima Beras Sejahtera (Rastra)/BPNT dengan konsumsi rokok meningkat sebesar 0,402 batang per hari (2,8 batang per minggu) di antara penerima.
"Adanya peningkatan jumlah konsumsi rokok pada penerima Bansos akan berdampak pada capaian program Bansos itu sendiri. Penerima Bansos yang keluarganya merokok memengaruhi alokasi untuk pengeluaran kebutuhan esensial keluarga, yaitu nutrisi, pendidikan, dan kesehatan," kata Dr. Renny Nurhasana yang juga sebagai peneliti dari PKJS-UI, di Jakarta, Senin (19/4/2021).
Ketika Bansos tersebut menyebabkan peningkatan intensitas perilaku merokok, Bansos kurang efektif dalam meningkatkan indikator sosial ekonomi.
Hal ini dapat memperkuat siklus kemiskinan bagi penerima Bansos jika perilaku merokok terus berlanjut atau meningkat serta menghambat potensi penuh dari program Bansos.
Seperti diketahui, Presiden Jokowi dan Menteri Sosial Tri Rismaharini telah menyampaikan larangan uang Bansos tidak boleh digunakan untuk membeli rokok secara informal melalui media massa.Namun larangan tersebut tidak berbuah hasil.
Sebab larangan itu akan lebih efektif jika dituangkan ke dalam sebuah regulasi resmi, seperti Peraturan Menteri Sosial (Permensos) untuk menerapkan reward dan punishment atas perilaku larangan membelanjakan dana Bansos untuk rokok.
"Reformasi program Bansos yang lebih tepat sasaran, terintegrasi, dan bersyarat diharapkan mengurangi risiko Bansos untuk konsumsi rokok. Kami mendukung penuh agar pemerintah menekankan perlunya pengurangan perilaku merokok atau pencantuman persyaratan terkait perilaku merokok di antara penerima Bansos ke dalam suatu kebijakan yang tegas. Selain itu, dibutuhkan adanya sinergi lintas sektor dalam penerapan kebijakan pengendalian konsumsi rokok, salah satunya kenaikan harga rokok untuk menjauhkan keterjangkauan pembelian rokok bagi keluarga pra-sejahtera dan penerima Bansos," jelasnya.
Advertisement