Atlet Renang Asal Myanmar Kubur Mimpi Berlaga di Olimpiade Tokyo

Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi dalam kudeta 1 Februari 2021.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 30 Apr 2021, 15:31 WIB
Pemandangan umum menunjukkan Cincin Olimpiade di depan Stadion Nasional, tempat utama untuk Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo 2020, 100 hari sebelum upacara pembukaan di Tokyo pada 14 April 2021. (Charly TRIBALLEAU / AFP)

Liputan6.com, Yangon - Seorang perenang Myanmar dengan berat hati meninggalkan mimpinya untuk berkompetisi di Olimpiade Tokyo.

Pasalnya, Myanmar masih bergejolak. Aksi protes menentang junta militer dan banyak pihak yang pergi ke luar negeri dikhawatirkan akan menyebar "propaganda" bagi rezim.

Win Htet Oo adalah salah satu perenang terbaik Myanmar tetapi pada awal April 2021, pria berusia 26 tahun itu mengatakan dia sudah tidak tertarik untuk pergi ke Tokyo.

"Menerima MOC (Komite Olimpiade Myanmar) seperti yang dipimpin saat ini oleh militer, itu berarti mengakui legitimasi rezim pembunuh," tulisnya dalam sebuah pernyataan di Facebook, demikian dikutip dari laman Channel News Asia, Jumat (30/4/2021).

"Saya tidak akan berbaris dalam Parade Bangsa (upacara pembukaan Olimpiade) di bawah bendera yang berlumuran darah rakyat saya."

Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi dalam kudeta 1 Februari 2021, dengan sebagian besar penduduknya turun ke jalan dan menuntut kembali ke demokrasi.

Untuk memadamkan pemberontakan, pasukan keamanan telah menindak kekerasan mematikan yang menewaskan lebih dari 750 warga sipil dalam kerusuhan anti kudeta, menurut sebuah kelompok pemantau.

Selain protes jalanan, gerakan pembangkangan sipil nasional telah membuat sebagian besar ekonomi negara terhenti.

Pegawai negeri dan pekerja memboikot pekerjaan mereka karena menolak untuk mengabdi pada rezim militer.

Win Htet Oo mengatakan bahwa meninggalkan tim Olimpiade Myanmar adalah caranya bergabung dengan gerakan tersebut.

"Saya ingin menunjukkan kepada rakyat Myanmar bahwa para atlet dapat mengambil bagian dalam gerakan pembangkangan sipil," katanya kepada AFP, berbicara dari Melbourne, Australia.

"Bayangan saya berjalan di belakang bendera di Parade Bangsa dan tersenyum, berpura-pura semuanya baik-baik saja, terus terang membuat saya jijik."

"Ini akan menjadi latihan propaganda, semacam cara untuk memberi tahu dunia bahwa semuanya baik-baik saja di Myanmar."

 

Saksikan Video Berikut Ini:


Kecaman Internasional

Pengunjuk menyiapkan senapan angin darurat untuk menghadapi polisi di kota Thaketa Yangon, Myanmar (27/3/2021). Para pengunjuk rasa menandai Hari Angkatan Bersenjata dengan menyerukan demonstrasi yang lebih besar. (AP Photo)

Banyak komunitas internasional mengutuk junta atas kudeta dan penggunaan kekerasan terhadap warga sipil tak bersenjata.

Kekuatan Barat -- termasuk AS, UE dan Inggris -- telah menjatuhkan sanksi yang menargetkan petinggi militer dan kepentingan bisnis mereka.

Win Htet Oo mencapai waktu seleksi Olimpiade gaya bebas 50 meter di Pesta Olahraga Asia Tenggara 2019, menempatkannya dalam bingkai untuk Tokyo.

Dia menulis pesan kepada Komite Olimpiade Internasional pada Maret 2021, mengutip kekerasan yang sedang berlangsung di Myanmar dan meminta untuk berkompetisi sebagai Atlet Olimpiade Independen.

Namun permintaannya ditolak. IOC mengatakan kepada AFP bahwa "sepanjang pengetahuan kami", Win Htet Oo belum dipilih oleh tim Myanmar.

"Saya mencoba memberi tahu IOC dan orang-orang tahu bahwa MOC bukanlah komite Olimpiade yang sah dan mereka merusak nilai-nilai Olimpiade," katanya sambil frustrasi.

Berenang di Olimpiade telah menjadi ambisi sejak kecil bagi Win Htet Oo, yang pindah ke Melbourne pada 2017 untuk mempercepat proses latihannya.

Saat ini ia bekerja sebagai penjaga pantai di fasilitas olahraga tempat ia menyaksikan atlet Australia berlatih untuk Olimpiade.

Win Htet Oo mengatakan dia "tidak menyesal" jika meninggalkan Olimpiade.

"Bagi saya, itu hanya impian satu orang untuk pergi ke Olimpiade, tetapi di Myanmar, jutaan anak muda telah menyaksikan impian dan aspirasi mereka telah hilang," katanya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya