Sederet Persoalan yang Masih Menyelimuti Pendidikan Inklusif

Dari persepsi hingga kesenjangan kebijakan jadi beberapa contoh problem yang dihadapi pendidikan inklusif di Tanah Air.

oleh Putu Elmira diperbarui 02 Mei 2021, 19:01 WIB
Ilustrasi belajar. (dok. Unsplash.com/@craftedbygc)

Liputan6.com, Jakarta - Pendidikan inklusif di Tanah Air masih menghadapi beberapa persoalan. Direktur Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak atau SAPDA, Nurul Saadah menyampaikan, masalah ini salah satunya berkaitan dengan perspektif dari masyarakat.

Nurul menyebut, perspektif di masyarakat melihat bahwa anak berkebutuhan khusus (ABK) sama dengan anak penyandang disabilitas, yang ternyata adalah dua hal berbeda. ABK adalah semua anak yang dalam situasi khusus.

"ABK ada yang cerdas istimewa, yang kemungkinan kesulitan berinteraksi sosial, kesulitan untuk sekolah bersama anak-anak yang secara IQ standar, anak-anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga," kata Nurul dalam "Webinar Mewujudkan Pendidikan Indonesia yang Inklusif, Aman dan Berkualitas bersama Yappika Actionaid", Minggu (2/5/2021).

Ia melanjutkan, ABK termasuk anak-anak yang orangtuanya sekolah atau bekerja lama di luar negeri, begitu kembali ke Indonesia, anak harus sekolah dengan bahasa Indonesia dan mengalami kesulitan. Mereka, dikatakan Nurul, harus mendapat dukungan atau guru pendamping atau kurikulum khusus.

"Hubungannya dengan ABK itu dengan memaknai pendidikan inklusif itu sama dengan anak disabilitas yang beragam, misalnya tuli, netra, bukan itu sebetulnya. Pendidikan inklusif diberikan buat semua dengan konsep individual curriculum yang sangat penting, karena semua anak harus mendapat hak mendapat proses pembelajaran, termasuk aksesibilitas anak-anak disabilitas," tambahnya.

Nurul menambahkan, ada perspektif lain bahwa banyak masyarakat yang melihat anak-anak penyandang disabilitas harus masuk Sekolah Luar Biasa (SLB) saja, tidak masuk ke pendidikan umu karena berbagai alasan, mulai dari merasa tidak penting, tidak siap, atau memang harus belajar di sana.

"Dari proses itu, ada perspektif lain untuk sekolah inklusif, mereka menganggap bahwa sekolah inklusif tapi karena ABK maka disediakan di ruang-ruang khusus, misalnya terjadi di beberapa sekolah yang saya tahu, di sekolah umum nanti ada kelas inklusif, yaitu anak-anak dengan disabilitas disendirikan di ruang tersebut untuk proses belajar mengajar," jelasnya.

Nurul menjelaskan, persoalan perspektif ini baginya menjadi luar biasa dampaknya dalam proses implementasi. "Belum lagi kalau banyak orangtua atau masyarakat (menganggap) anak-anak penyandang disabilitas itu tidak perlu sekolah," tambahnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Kesenjangan Kebijakan hingga Ketidaksiapan

Ilustrasi belajar. (dok. unsplash.com/@joaosilas)

Persoalan selanjutnya, berkaitan dengan kesenjangan kebijakan pusat dan daerah. "Saya anggap pemerintah pusat sudah mengatur pendidikan inklusif dengan beragam regulasi dari pendidikan nasional sendiri, Undang-Undangnya, kemudian Undang-Undang penyandang disabilitas sampai ada peraturan pemerintahnya," kata Nurul.

"Tapi kemudian, bisa jadi pemerintah daerah belum cukup paham dan mereka belum menganggap itu penting untuk membuat peraturan-peraturan daerah yang ada pendidikan inklusif. Belum semua daerah mempunyai peraturan daerah terkait pendidikan inklusif," tuturnya.

Masalah yang dihadapi selanjutnya, ada persoalan kesiapan pemerintah kabupaten kota untuk menyelenggarakan unit pelayanan disabilitas. "Karena ternyata, pengalaman kami bekerja di banyak daerah itu, komitmen kepala daerah sangat penting, termasuk bicara kecukupan anggaran," jelasnya.

"Anggaran dari pusat cukup banyak, tapi misalnya guru-guru pendamping khusus harus dibayar oleh pemerintah daerah, sementara biasanya guru pendamping khusus itu hanya disediakan oleh pemerintah provinsi dari guru-guru SLB, guru SLB berapa jumlahnya dan berapa jumlah anak disabilitas yang sekolah. Kalau pemerintah daerah tidak menyediakan anggaran yang mencukupi bagi guru-guru ini, pendidikan inklusif hanya sekadar jargon, tidak bisa dijalankan," ungkap Nurul.

Masalah lainnya adalah ketidaksiapan sekolah menghadapi anak disabilitas sebagai warga sekolah yang menyebabkan anak-anak disabilitas didiskriminasi atau dirundung. "Karena memang dengan banyaknya pengalaman sekolah sering kali memaksakan diri untuk menjadi sekolah inklusif karena adanya reward dari daerah atau pemerintah, tapi mereka sebetulnya tidak cukup paham, apa yang disebut sekolah inklusif itu sendiri," kata Nurul.

"Sekolah inklusif, sekolah yang secara infrastruktur fasilitas aman untuk anak-anak dengan disabilitas juga ABK," terangnya.


Hari Pendidikan Nasional

kurikulum tiap era pemerintahan (liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya