Tetap Positif Tak Selalu Jadi Solusi Terbaik untuk Mengatasi Permasalahan

Bersikap positif itu sangat penting, tetapi itu tidak selalu menjadi satu-satunya jawaban untuk sebuah krisis.

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Mei 2021, 20:13 WIB
Ilustrasi orang bahagia. Sumber foto: pexels.com/Bruce Mars.

Liputan6.com, Jakarta - Dalam penelitiannya, Psikiater Victor Frankl mendefinisikan sikap "tragic optimisme" merupakan cara pandang yang terlalu optimis terlepas dari masalah yang dihadapi. Baik itu permasalahan hidup, rasa kehilangan, rasa sakit, emosi, dan rasa bersalah yang kerap kita hadapi.

Sementara sikap "toxic positivity" atau "pemikiran positif yang beracun" menegaskan bahwa kita seharusnya hanya memiliki pola pikir yang baik-baik saja. Sikap ini mendorong kita untuk merasakan emosi sulit yang berasal dari suatu tragedi dan menemukan makna di dalamnya.

Menurut Bright Side, bersikap positif itu memanglah sangat penting, tetapi itu tidak selalu menjadi satu-satunya jawaban dalam menghadapi sebuah krisis. 

Saksikan Video Berikut Ini:


Menyebabkan Kerugian

ilustrasi bahagia mencintai diri sendiri/Photo by Đàm Tướng Quân from Pexels

Menjadi positif dalam keadaan darurat dalam beberapa kasus dapat berbahaya bagi kita. Misalnya, orang-orang yang berada dalam suatu "hubungan yang melecehkan" mungkin meremehkan beratnya pelecehan tersebut dan memilih untuk tetap berada dalam hubungan tersebut.

Mereka akan memiliki pemikiran yang terlalu positif, memiliki harapan bahwa pelaku kekerasan mereka akan berubah, sehingga memaafkan mereka untuk itu.


Menyangkal Perasaan Kita yang Sebenarnya

Ilustrasi orang bahagia. Sumber foto: unsplash.com/Brooke Cagle.

Ketika kita memaksakan diri untuk hanya melihat sisi baiknya, kita menekan emosi negatif, yang bisa membuatnya lebih kuat. Perasaan ini bisa meletus suatu hari nanti, terutama saat kita menghadapi tragedi. Kita bahkan bisa merasa malu atau bersalah karena memiliki perasaan yang sulit ini.

Dengan tetap bersikap positif, kita akan cenderung tidak meminta bantuan karena kita pikir kita baik-baik saja dan tidak membutuhkan apa pun. Dan ini sangatlah berbahaya.


Tidak dapat Tumbuh Saat Masa Krisis

Ilustrasi Emosi Sedih Credit: pexels.com/EnginAkyurt

Menjadikan "pemikiran positif" sebagai mantra penyematan dapat secara tak langsung membunuh kemampuan kita untuk menghadapi tantangan secara langsung. Dengan menghindari emosi negatif, kita bisa kehilangan informasi berharga.

Katakanlah seorang wanita baru saja kehilangan seseorang yang penting baginya. Jika dia mengabaikan kesedihannya, dia mungkin masih menyangkal bahwa orang tersebut tidak akan pernah kembali dan mungkin tidak dapat menangani pengaturan pemakaman atau bahkan kehidupan setelah orang tersebut pergi.


Optimisme Saja Tidak Cukup

Ilustrasi galau, sedih, kecewa. (Photo by Nik Shuliahin on Unsplash)

Meski begitu, bersikap optimis tetap penting, namun bukan satu-satunya hal yang kita sadari saat menangani krisis. Kita seharusnya masih merasakan sakit, tetapi kita bisa membalik naskah dengan mengubah penderitaan kita menjadi mencapai sesuatu.

Rasa bersalah adalah emosi manusia normal yang tidak boleh kita hindari, tetapi melaluinya, kita dapat mengambil kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik. Saat dihadapkan pada kehilangan, kita seharusnya tetap merasakan kesedihan, tetapi kita bisa belajar dari perasaan ini dan menjalani hidup sepenuhnya.


Makna Memberi Harapan untuk Menangani Tragedi

Ilustrasi sedih | Adrien Olichon dari Pexels

Terlepas dari apa yang dilemparkan kehidupan kepada kita, jika kita dapat menemukan makna di baliknya, kita dapat bergerak maju dan suatu hari menemukan kebahagiaan sejati dalam hidup.

Harapan memungkinkan kita untuk menyeimbangkan hal-hal buruk yang sedang terjadi saat ini dengan kemungkinan bahwa kita dapat mengalami makna dari tragedi.

Ini adalah inti dari "tragic optimisme", yang mungkin merupakan penangkal "tocix positivity".

 

Reporter: Lianna Leticia

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya