Hindari Penimbunan Gula, Produsen dan Importir Diminta Transparan

Pemerintah harus bertindak tegas terhadap perusahaan yang nakal menimbun gula.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Mei 2021, 21:55 WIB
Ilustrasi Foto Gula Pasir (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai pemerintah harus bertindak tegas terhadap perusahaan yang masih menyimpan gula dalam jumlah besar. Terlebih hal ini terjadi saat kebutuhan gula meningkat pada Ramadan dan jelang Lebaran.

Pernyataan tersebut menanggapi adanya temuan 15 ribu ton gula rafinasi dan 22 ribu ton gula kristal di gudang PT Kebun Tebu Mas (KTM) Lamongan oleh Satuan Tugas (Satgas) Pangan Polda Jawa Timur (Jatim).

Bhima mengatakan, adanya temuan ini merupakan kejahatan kemanusiaan karena bisa diduga sebagai aksi penimbunan gula untuk mencari rente keuntungan maksimal di tengah daya beli yang sedang lemah.

"Solusi bukan sekedar penindakan tapi juga pencegahan. Misalnya dalam pemberian izin impor gula harus dicek dulu apakah stok gula didalam negeri memang terbatas," kata dia.

Selain itu, lanjut Bhima, pemerintah juga bisa memaksa impotir, produsen maupun distributor gula untuk memberikan data akurat terkait produksi dan stok gula yang dimiliki. Hal ini dinilai penting agar stok gula ada saat dibutuhkan dan tidak berlebihan sehingga merugikan petani tebu lokal.

"Kemudian juga transparansi terkait stok yang dimiliki oleh gudang dan importir. Selama ini masalahnya adalah pendataan yang lemah sehingga bisa dimanfaatkan oleh rente impor gula," ungkap dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Harus Serap Tebu Petani

Aktivitas petani tebu di Desa Betet, Pesantren, Kediri, Jatim pada akhir September lalu. Bulog hanya membeli sekitar 100 ribu ton, sehingga sebagian petani terpaksa menjual gula dengan harga di bawah Rp 9.000 per Kg. (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Hal senada juga diungkapkan oleh Anggota Komisi VI DPR RI Nusron Wahid. Menurut Nusron, kuota impor raw sugar yang diberikan kepada PG seharusnya seimbang dengan penyerapan tebu petani yang mampu dilakukan oleh PG tersebut.

Dengan demikian, tebu petani juga bisa terserap dengan baik. Sehingga petani tidak merasa terancam setiap kali ada gula mentah (raw sugar) impor masuk ke Indonesia.

"Harusnya alokasi kuota disesuaikan dg jumlah seberapa besar dia menyerap tebu petani. Sehingga petani menjadi tertarik dan semangat utk budidaya tebu, karena secara ekonomis menjanjikan. Faktanya skrg banyak pabrik yang hanya menyerap tebu petani 2 persen dari kuota impor yang diperoleh. Ini sungguh terlalu," jelas dia.

Untuk memberikan efek jera kepada importir dan perusahaan yang berani melakukan penimbunan, pemerintah harus segera menghentikan proses dan izin impor dari perusahaan tersebut. Ini agar menjadi pelajaran bagi importir lain agar tidak bermain-main dengan kuota impor yang diberikan oleh pemerintah.

"Supaya ada efek jera. Sebaiknya izin impornya dibatalkan. Suoaya tidak dilakukan yang lain," tutur dia.

Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan Kementerian Perindustrin (Kemenperin) Supriadi menegaskan bahwa, ijin impor raw sugar tidak didikte oleh tuntutan perusahaan tertentu, namun ditentukan oleh adanya defisit dan kebutuhan yang diajukan oleh industri makanan minuman setahun sebelumnya, sehingga dengan adanya importasi terjadi keseimbangan neraca gula.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya