Mahkamah Konstitusi Tolak Permohonan Uji Formil UU KPK

Hakim MK menyatakan bahwa DPR sebenarnya sudah melibatkan masyarakat terkait revisi UU KPK.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 04 Mei 2021, 16:02 WIB
Hakim MK Arief Hidayat (kanan) didampingi Ketua MK Anwar Usman (tengah) dan Hakim MK Enny Nurbaningsih saat memimpin sidang perdana sengketa Pemilu Legislatif 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa (9/7/2019). Hakim memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji formil Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK.

"Menolak pokok permohonan untuk seluruhnya," tutur Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan putusan sidang di Gedung MK, Jakarta, Selasa (4/5/2021).

Dalam sidang, hakim MK menyatakan bahwa DPR sebenarnya sudah melibatkan masyarakat terkait revisi UU KPK. Diskusi-diskusi banyak digelar pada 2017

"KPK yang menolak untuk dilibatkan dalam proses pembahasan rencana revisi UU KPK. Hal demikian bukan berarti pembentuk UU (DPR dan Presiden) yang tidak melibatkan KPK," ujar hakim.

Selain itu, UU KPK sendiri juga sudah masuk prolegnas.

"MK berpendapat permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum seluruhnya," kata hakim.

Uji formil tersebut diajukan oleh 14 orang dengan tiga di antaranya merupakan komisioner KPK periode 2015-2019 yakni Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang.

Dalam permohonan perkara yang teregistrasi dengan nomor 79/PUU-XVII/2019 itu, Agus Rahardjo dan penggugat lainnya menilai penyusunan Revisi UU KPK tidak memenuhi aturan formil pembentukan undang-undang. Seperti salah satunya tidak sesuai dengan UU Tentang Peraturan Pembentukan Perundang-Undangan.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Revisi Cacat Prosedural

Pihak penggugat melihat penyusunan Revisi UU KPK cacat prosedural lantaran tidak melalui proses perencanaan dalam program legislasi nasional atau prolegnas prioritas. Selain itu juga tidak mengedepankan aspek partisipasi publik.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya