Akibat Pandemi, BI Sebut Defisit Fiskal Negara Maju Capai 10 Persen

Pandemi Covid-19 membuat berbagai negara terpaksa memperbesar defisit fiskal, quantitative easing dan penurunan suku bunga acuan kredit.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Mei 2021, 16:21 WIB
Petugas menata tumpukan uang kertas di Cash Center Bank BNI di Jakarta, Kamis (6/7). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) pada sesi I perdagangan hari ini masih tumbang di kisaran level Rp13.380/USD. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Pandemi Covid-19 membuat berbagai negara terpaksa memperbesar defisit fiskal, quantitative easing dan penurunan suku bunga acuan kredit.

Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dody Budi Waluyo mengatakan negara-negara maju memperlebar defisit fiskal mencapai 10 persen. Sedangkan para negara berkembang memperlebar defisitnya antara 4 persen sampai 6 persen.

"Defisit fiskal di berbagai negara maju sudah sampai 10 persen. Kalau negara emerging ini sekitar 4-6 persen," kata Doddy dalam Webinar Menakar Efektivitas Stimulus Ekonomi, Jakarta, Selasa (4/5/2021).

Doddy mengatakan saat ini Indonesia telah memperlebar defisit fiskal hingga 5,7 persen. Selama tahun 2020 bank Indonesia telah melakukan quantitative easing hingga 4,7 persen. Lalu hingga Februari 2021 sudah tembus 5 persen.

"Quantitative easing dari BI sendiri tembus angka 5 persen dari awal pandemi Februari 2020 sampai dengan posisi yang terakhir," kata dia.

Penurunan suku bunga kredit juga dilakukan berbagai negara di dunia. Secara global penurunan suku bunga tiap negara berkisar antara 50 bps sampai 300 bps. Penurunan suku bunga acuan ini akan terus dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.

 


Permintaan Pembiayaan

Karyawan menghitung uang kertas rupiah yang rusak di tempat penukaran uang rusak di Gedung Bank Indonessia, Jakarta (4/4). Selain itu BI juga meminta masyarakat agar menukarkan uang yang sudah tidak layar edar. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Sayangnya penurunan suku bunga berbalik dengan permintaan pembiayaan. Berbagai negara kawasan mengalami penurunan permintaan kredit perbankan seperti Eropa Selatan dan kawasan Eropa Barat. Pelemahan permintaan kredit ini tidak hanya disebabkan pandemi, melainkan sebagai dampak perang dagang di tahun 2019.

"Masalah proteksi perdagangan yang jadi warna dan ekonomi 2019 ini melemah tetapi juga di pucuk 2019 dan ekonomi awal 2020 ini ekonomi sudah membaik," kata dia.

Saat ini, dalam konteks perbankan sudah mengalami return on asset. Hal ini terjadi di banyak negara karena fenomena yang terjadi ekonomi sedang melemah. Penyaluran kredit juga masih terbatas kepada sektor-sektor yang masih memiliki prospek.

"Sehingga uang itu mengalir masuk sektor yang kasih retennya signifikan, paling tidak di properti atau surat berharga," kata dia mengakhiri.

Anisyah Al Faqir

Merdeka.com

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya