Atasi Gejolak Harga Cabai, Pemerintah Diminta Perbanyak Lemari Pendingin

Untuk menjaga fluktuasi harga cabai di Indonesia saat terjadinya masa panen, penggunaan lemari pendingin atau cold storage merupakan solusi yang tepat

oleh Liputan6.com diperbarui 05 Mei 2021, 15:10 WIB
Permintaan yang banyak untuk cabai di awal ramadan membuat harga cabai mengalami kenaikan, Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Jumat (19/6/2015). Harga Cabai Rawit naik dari harga Rp16 ribu menjadi Rp20 ribu/kg. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

 

Liputan6.com, Jakarta Peneliti Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) Arumdriya Murwani mengatakan, untuk menjaga fluktuasi harga cabai di Indonesia saat terjadinya masa panen, penggunaan lemari pendingin atau cold storage merupakan solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Adapun fluktuasi harga cabai terjadi enam kali dalam setahun saat masa panen. Umumnya harga tertinggi cabai terjadi pada masa tanam di bulan November hingga Februari.

“Harga cabai rawit juga sering anjlok di kala terjadi surplus pasokan pada masa panen raya. Diperlukan pendekatan yang menyeluruh atas tata kelola pangan di Indonesia, salah satunya dengan mempertimbangkan preferensi masyarakat Indonesia pada cabai rawit segar,” jelas Arumdriya, dikutip melalui siaran pers pada Rabu (5/5/2021).

Kemudian, adanya sifat cabai yang rentan untuk mengalami kebusukan, serta kerangka impor yang berbelit-belit membuat dikeluarkannya kebijakan impor untuk membantu mengatasi kebutuhan pasar yang dinamis.

Untuk itu salah satu solusi potensial yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan sistem penyimpanan rantai dingin di Indonesia. Dengan menggunakan sistem penyimpanan yang modern ini maka masa simpan cabai dapat bertahan lama, serta membantu menstabilkan harga cabai di pasaran.

Sementara itu, untuk kapasitas penyimpanan lemari pendingin di Indonesia dinilai masih belum memadai, di mana hal itu mengakibatkan tingginya tingkat limbah pangan, sekaligus berkontribusi kepada fluktuasi harga pangan di masyarakat.

Berdasarkan laporan Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) pada 2018 pemanfaatan ruang penyimpanan dingin di Indonesia mencapai 17,6 juta ton per tahunnya. Namun, kapasitas yang dapat menampung hanya sebesar 370 ton per tahun.

Adapun dengan kurangnya jumlah kapasitas pendingin tersebut ikut meningkatkan resiko membusuknya komoditas pangan dalam proses distribusi ke konsumen melalui petani.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Limbah Pangan

Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa mengonsumsi cabai dapat memerpanjang usia (Dok.Unsplash/Elle Hughes)

Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan The Economist Intelligence Unit (EIU) limbah pangan akibat infrastruktur dan fasilitas yang belum memadai per tahunnya mencapai 300 kilogram untuk setiap orangnya.

“Selain tingkat limbah yang tinggi, kurangnya fasilitas penunjang dalam rantai distribusi cabai juga berkontribusi dalam membuat harga menjadi tidak stabil. Stok cabai rawit yang melimpah di masa panen raya harus langsung dijual, karena kapasitas penyimpanan saat ini hanya mampu mempertahankan kesegaran cabai selama 30 hari,” jelas Arumdriya.

Akibat dari hal itu, surplus stok di pasar menyebabkan harga anjlok dan membuat petani cabai rugi. Hal yang sebaliknya terjadi saat lewatnya masa tanam, stok cabai untuk menstabilkan harga tidak tersedia dan mengakibatkan harga melonjak.

Dia menilai pemerintah perlu mempertimbangkan untuk berinvestasi pada lemari pendingin modern untuk memperpanjang masa simpan stok cabai rawit.

Adapun harga cabai yang fluktuatif menunjukkan wacana ketahanan pangan melalui sistem pangan yang baik menjadi hal yang sering dilupakan. Lebih lanjut dia menilai, pemerintah, swasta dan masyarakat perlu bersinergi untuk mengembangkan teknologi ruang penyimpanan dingin.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya