Liputan6.com, Jakarta Perkembangan teknologi informasi ikut mempengaruhi gaya hidup para pekerja di Indonesia, termasuk bekerja di luar kantor yang kini menjadi tren dan sangat diminati para pekerja milenial di Indonesia. Perusahaan perangkat lunak virtualisasi Amerika Serikat, VMware, dalam riset bertajuk Digital Frontiers 3.0 Study yang dirilis pada 15 April 2021 lalu, memplot Indonesia sebagai negara terdepan terkait dengan tingkat penerimaan masyarakat dalam merengkuh pengalaman digital.
Bahkan 80% dari responden yang disurvei menyebut diri mereka sebagai “digitally curious” atau “digital explorers”. Riset tersebut mengungkap, sebanyak 64% “digital curious” itu adalah para millenial workforce (tenaga kerja milenial), yang menganggap bekerja adalah sesuatu yang dilakukan dimanapun mereka berada. Lebih dari 70% responden juga percaya, bahwa mereka dapat mempertahankan tingkat produktivitas di luar kantor.
Advertisement
Fenomena itu terjadi seiring dengan adanya dinamika perubahan new workplace (tempat kerja baru) dengan bergantinya profil pekerja dari seorang baby boomer ke seorang milenial. Mereka adalah orang yang lahir di era mobile tahun 1982 ke atas, menduduki posisi penting di korporasi dan memiliki harapan yang tinggi terhadap informasi teknologi untuk mendukung kinerja bisnis seiring dengan cepatnya perkembangan teknologi. Generasi seperti inilah yang dipercaya mampu mengubah tempat dan cara kerja menjadi lebih mobile.
Faktanya, tren tersebut sedang marak di seluruh dunia. Mereka menyebutnya digital nomaden atau disingkat digital nomad (pengembara digital). Masyarakat yang semula harus bekerja di kantor menjadi bebas, tanpa terbatas ruang dan waktu.
Selanjutnya
Tren digital nomad itu dinilai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Republik Indonesia, Sandiaga Salahuddin Uno, sangat mungkin diterapkan di Pulau Bali yang memiliki keindahan alam dan kawasannya telah dilengkapi dengan infrastruktur telekomunikasi mumpuni.
“Sejalan dengan hal itu, pemerintah meluncurkan program Work from Bali (WFB), yaitu aktivitas workcation atau “bekerja dari Bali” yang mengakomodir para pekerja milenial agar tetap bisa mengendalikan pekerjaan dari jarak jauh meskipun sedang dalam liburan. Mereka bekerja sambil liburan. Memanfaatkan ruang-ruang kerja bersama. Di mana saja, bebas. Dan Bali adalahsalah satu tempat yang sangat tepat untuk mendukung hal itu,” papar Uno, April lalu di Bali.
Pengunjung dapat memilih lokasi bekerja secara sporadis sesuai vibes yang disukai dengan memanfaatkan teknologi digital nirkabel. Mereka mudah didapati di sejumlah co-working space yang berada di resto atau kafe, vila dan hotel. Nusa Dua, Bali, dikenal sebagai surganya digital nomad baik wisatawan lokal maupun turis asing yang mendambakan suasana kantor menyenangkan, fleksibel namun tetap komunikatif.
Untuk mendukung program Kemenparekraf tersebut, sejumlah pelaku usaha properti dan pariwisata di Nusa Dua, Bali, telah meluncurkan beragam paket workcation. Satu diantaranya, proyek Lavaya Residence dan Resort besutan PT Properti Bali Benoa (Ganda Land Grup) menawarkan unit residensial premium yang siap memberikan kenyamanan tinggal sekaligus bekerja di Bali. Dikelilingi Pantai Tanjung Benoa, workcation di Lavaya Residence dan Resort jadi lebih menyenangkan dan mampu mengurangi stres karena sepanjang aktivitas disuguhkan pemandangan alam yang indah nan syahdu.
“Kita lihat trennya adalah digital nomad-staycation, dan itu adalah salah satu cara menghilangkan kejenuhan dan mengurangi stres dalam dunia pekerjaan di tengah pandemi Covid-19, karena kalau bekerja dari Bali, suguhan pantainya menjadi daya tarik menarik. Dengan pakaian kasual santai, bawa laptop dan charger pengunjung bisa mendapatkan pemandangan alam yang bikin pikiran lebih santai. Suasana seperti ini akan memudahkan para pekerja mengail ide-ide brilian,” ujar Direktur Marketing PT Properti Bali Benoa (Ganda Land Grup) Nathalia Sunaidi dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (6/5/2021).
Advertisement
Ijin Visa Lebih Panjang
Nathalia menyebut, program “Bekerja dari Bali” ini sangat membantu di tengah lesunya pariwisata Bali akibat pandemi. Terlebih Kemenparekraf memplot Pulau Bali sebagai satu dari tiga wilayah pariwisata di Indonesia yang memberikan long term visa atau visa jangka panjang bagi wisatawan mancanegara dengan masa waktu lima tahun serta dapat diperbaharui. “Inilah yang nanti mendorong lebih banyak masyarakat dunia digital nomad untuk mempertimbangkan Bali sebagai second home atau rumah kedua,” jelasnya.
Dengan banyaknya wisatawan yang menjadikan Bali sebagai ‘rumah kedua’, bisnis properti di Bali diyakininya akan tumbuh. Nathalia optimis ekonomi Bali akan segera bangkit lewat penciptaan lapangan kerja serta penyerapan tenaga kerja seluas-luasnya. “Bali menawarkan gaya hidup yang sehat, kuliner terjangkau juga propertinya yang dalam kondisi baik. Ini adalah faktor bahwa Bali segera bergerak dan bangkit kembali,” lugas Nathalia.
Konstruksi kondominium Lavaya Residence dan Resort sendiri sudah mencapai 85 persen dan akan diserahterimakan kepada pembeli pada akhir tahun ini. Di atas lahan 2,3 hektar, proyek terdiri dari hunian setinggi lima lantai sebanyak 402 unit. Harganya mulai Rp1,9 miliar per unit. Sepanjang bulan Mei, pengembang bekerja sama dengan Bank BTN menawarkan promo bebas biaya KPR, subsidi bunga dan bebas biaya administrasi bank. “Uang muka 5 persen bisa dicicil 12 bulan, ringan sekali,” terangnya.
Seluruh unit dilengkapi perabotan (fully furnish) dan penyewaanya dipasarkan oleh Travelio sehingga jangkauan potensi sewanya lebih menarik dan luas. Harga sewa unit di Lavaya Residence dan Resort berkisar mulai Rp750 ribu – Rp1,6 juta per hari, atau Rp9 juta – Rp20 juta per bulan. “Kami bekerja sama dengan Travelio yang memang pengelola apartemen dan hotel spesialis unit fully furnished berstandarisasi. Unit kami bisa disewa oleh para digital nomad baik harian, bulanan atau tahunan melalui platform online berupa situas web dan aplikasi. Pemilik unit tinggal terima passive income saja,” pungkas Nathalia.