Liputan6.com, Jakarta - Siapa yang sudah kangen bermain arung jeram? Permainan menguji nyali dan memiliki beberapa level kesulitan ini termasuk salah satu atraksi wisata yang telah memiliki panduan Cleanliness, Health, Safety, and Environmental Sustainability (CHSE) yang disusun pemerintah. Artinya, pengelola wisata arung jeram bisa beroperasi jika mengacu pada panduan tersebut.
Secara umum, protokol kesehatan yang harus diterapkan pengelola mirip dengan atraksi wisata lain, yakni memakai masker, mencuci tangan, mencegah kerumunan, dan menjaga jarak aman. Tapi, para peserta arung jeram ternyata diperbolehkan tidak mengenakan masker. Apa alasannya?
Baca Juga
Advertisement
dr Siswo Putranto Santoso yang dijuluki dokter gunung karena aktif berkegiatan di luar ruang itu menerangkan bahwa virus Covid-19 tidak menular melalui air, tetapi lewat pernapasan. Maka, para panitia maupun peserta harus memakai masker dan menjaga jarak sosial minimal satu meter.
Penggunaan masker terutama saat peserta dan panitia berada di darat, mulai dari proses briefing hingga duduk di perahu. Namun, peserta dan pemandu tidak perlu memakai masker selama berarung jeram.
"Karena masker akan menutupi jalan pernafasan, sehingga saat darurat peserta tercebur di air, hidung dan mulut yang tertutup masker akan menimbulkan efek terganggu dan bisa menimbulkan kepanikan pada peserta," ujar dokter yang akrab disapa Chico itu saat webinar Sosialisasi dan Simulasi Panduan Pelaksanaan CHSE Wisata Arung Jeram, dalam rilis yang diterima Liputan6.com, Rabu, 5 April 2021.
"Untungnya di kegiatan arung jeram kita berada di alam terbuka dan di atas arus air, sehingga, seandainya ada virus, maka akan menjadi encer saat di air," imbuh dia lagi.
Meski demikian, ia menekankan jaga jarak wajib dilakukan sekalipun duduk di atas perahu. Untuk itu, kapasitas perahu juga semestinya dikurangi dari enam orang menjadi empat orang saja. Begitu menepi di darat, para peserta harus kembali memakai masker.
"Masker dapat disimpan di dalam wadah plastik berklip agar terjaga dan tetap kering saat dipakai kembali di darat, saat beristirahat maupun kembali ke darat saat finish," ucap Chico.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Tantangan Industri Arung Jeram
Sementara itu, Koordinator Wisata Alam Kemenparekraf, Itok Parikesit menjelaskan bahwa panduan CHSE arung jeram telah diluncurkan sejak tahun lalu. Namun, sosialisasi harus terus dilakukan demi mempertajam penerapannya di lapangan. "Tujuan utama dari kegiatan ini adalah bagaimana wisata arung jeram kembali mendapat kepercayaan dari wisatawan baik domestik maupun mancanegara dengan penerapan protokol kesehatan berbasis CHSE," katanya.
Ada tiga aspek yang harus dimiliki operator wisata arung jeram agar mendapat kepercayaan masyarakat. Selain penerapan protokol kesehatan CHSE, para pemandu juga harus mempunyai sertifikasi kerja SKKNI serta perusahaannya juga harus berizin dan memiliki TDUP (Tanda Daftar Usaha Pariwisata).
Seperti halnya pelaku wisata lain, operator arung jeram juga menghadapi tantangan berat dalam menjalankan operasional di masa pandemi Covid-19. Amalia Yunita, Ketua Umum FAJI, mengakui ketidakpastian menjadi poin yang harus dihadapi setiap pemilik usaha arung jeram. Sejauh ini, anggota FAJI terdapat di 17 provinsi pada 60 sungai dengan 187 operator.
Ia juga mengakui penerapan standar protokol kesehatan CHSE ini tidaklah mudah, perlu pengawasan dan konsistensi. Tetapi demi keselamatan dan sumber pekerjaan untuk kehidupan banyak orang, ia menilai hal itu wajib diterapkan.
"Dengan melakukan modifikasi marketing, penyesuaian harga paket dengan daya beli pasar, peningkatan kapasitas diri operator melalui standar panduan new normal dan terus meningkatkan kualitas produk, maka saya yakin seluruh operator arung jeram dapat melalui tantangan di masa pandemi ini," kata pemilik usaha arung jeram Arus Liar dan Bravo Glamping ini.
Panduan CHSE wisata arung jeram bisa diunggah di laman https://chse.kemenparekraf.go.id/storage/app/media/dokumen/Pedoman_Wisata_Arung_Jeram.pdf.
Advertisement