Liputan6.com, Jakarta - PT PLN (Persero) hanya akan membangun pembangkit listrik dari Energi Baru Terbarukan (EBT) setelah menyelesaikan program 35 ribu Mega Watt (MW).
Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini mengatakan, kebutuhan listrik Indonesia sampai 2050 diperkirakan mencapai 1.100 Tera Watt hour (TWh). Sedangkan saat ini kapasitas listrik Indonesia sebesar 300 TWh, sehingga perlu ada tambahan listrik sebesar 800 TWh untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Advertisement
Menurutnya, tambahan pasokan listrik ini akan dipasok dari pembangkit EBT. "Kita butuh 800 TWh listrik, komitmen PLN akan dipenuhi dengan EBT," kata Zulkifli, di Jakarta, Jumat (7/5/2021).
PLN berkomitmen dalam menggunakan pembangkit yang tidak menghasilkan emisi, meski saat ini belum sesuai rencana. Namun, setelah program pembangkitan 35 ribu MW diselesaikan, kedepannya PLN hangs akan membangun pembangkit berbasis EBT.
"Kita dorong zero emisi, setelah tahun tahun ini, setelah 35 ribu MW selelsai hanya EBT," tuturnya.
Zulkifli mengakui, untuk melistriki di wilayah Terdepan, Terpencil dan Terluar (3T) belum bisa sepenuhnya menggunakan EBT. Namun, PLN akan tetap melakukan pencampuran energi untuk memenuhi kebutuhan listrik.
PLN pun saat ini sedang melalukan konversi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) di 200 titik dengan total kapasitas 225 MW.
Menurut Zulkifli, PLN merupakan perusahan masa depan yang berpihak pads penggunaan EBT. "Kita sangat berpihak pada energi bersih, kita dukung mobil listrik, kompor indusksi, kita dukung semuanya terkait hal itu," tutupnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Dunia Beralih ke EBT, Sumber Pembiayaan Proyek Energi Fosil Semakin Sulit
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto membeberkan urgensi dekarbonisasi dalam garapan proyek-proyek infrastruktur di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Menurut Airlangga, penggunaan energi baru terbarukan (EBT) tidak hanya berkonsentrasi pada masalah lingkungan, namun juga sektor ekonomi. Saat ini, lembaga penyedia dana memiliki preferensi mendanai proyek-proyek yang ramah lingkungan daripada proyek berbasis energi fosil.
"Biaya teknologi EBT semakin murah membuat EBT menjadi lebih kompetitif. Kita lihat sumber dan akses pembiayaan semakin sulit untuk fosil dan memudahkan untuk EBT," ujar Airlangga dalam webinar, Senin (26/4/2021).
Lanjutnya, pasar global mulai menilai produk hasil industri yang memiliki catatan carbon footprint yang rendah. Carbon footprint ialah jumlah gas efek rumah kaca termasuk karbon dioksida dan gas metana dari suatu kegiatan.
"Produk industri pengolahan dilihat dari hasil listriknya, sumber energi listrik dari fosil jadi tidak lebih menjanjikan daripada EBT. Hal ini tentu berdampak pada ekspor hasil produk industri pengolahan," ujar Airlangga.
Adapun, Indonesia sendiri memiliki potensi EBT yang beragam, mulai dari tenaga air, angin hingga matahari. Kendati, pemanfaatannya masih belum maksimal.
Tercatat, hingga akhir 2020, total kaapsitas listrik berbasis EBT mencapai 10,5 GW, dengan kapasitas terbesar dari tenaga air sebesar 6,1 GW dan panas bumi 2,1 GW.
"Bauran energi primer realisasinya 11,2 persen, meskipun masih jauh dari target 23 persen namun meningkat 2,05 persen dibanding 2019," ujarnya.
Advertisement