Liputan6.com, Jakarta - Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, menilai bahwa wajar keputusan PT Total Oil Indonesia yang menutup lini bisnis stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Indonesia. Total memiliki 18 SBBU yang tersebar di Jabotabek dan Bandung.
Menurut Mamit, persaingan bisnis di sektor minyak dan gas (migas) saat ini semakin sengit, sehingga membuat Total harus angkat kaki.
Advertisement
"Saya kira memang persaingan bisnis SPBU ini semakin hari semakin ketat. Apalagi dengan hadirnya BP dan juga Vivo selain Shell, maka Total semakin tertekan," ujarnya kepada Liputan6.com, Jumat (7/5/2021).
"Apalagi, masyarakat kita kurang terlalu mengenal Total sebagai salah satu SPBU yang ada di Indonesia, mengingat minimnya promosi yang dilakukan oleh Total," dia menambahkan.
Mamit mencermati, konsumen BBM di Tanah Air lebih suka dengan merek besar seperti Shell karena banyak promosi. Lalu juga British Petroleum (BP) dan PT AKR Corporindo Tbk yang mulai gencar membuat cabang di beberapa wilayah di Jadetabek.
Selain itu ada juga SPBU VIVO, yang masih populer lantaran mengeluarkan produk murah dengan RON 89, serta promosi gratis untuk bahan bakar minyak (BBM) jenis lain.
"Produk Total oleh penggunaan kendaraan juga kurang menarik jika dibandingkan SPBU swasta lainnya. Saya kira itu yang menyebabkan Total harus menutup semua SPBU mereka di Indonesia," ujar Mamit.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Mulai Ditinggal Sejak Sebelum Pandemi
Menurut dia, SPBU Total sudah mulai ditinggalkan konsumen sejak sebelum pandemi. Wabah virus corona lantas memperparah kondisi yang ada karena mobilitas masyarakat yang dikurangi.
"Jadi bukan karena pandemi Total menutup SPBU mereka, tapi karena memang mereka tidak mampu bersaing dan akhirnya pandemi harus menyudahi kiprah Total di bisnis ritel," sebutnya.
Lebih lanjut, Mamit turut menyoroti Petronas yang pada 2012 lalu harus menutup operasi bisnis SPBU-nya di Indonesia. Berbeda konteks dengan Total, ia menganggap hengkangnya Petronas lebih disebabkan karena sentimen buruk antara Indonesia vs Malaysia kala itu.
"Untuk Petronas, permasalahan serumpun yang sering terjadi menjadi terdapat sentimen buruk terhadap produk Malaysia, dimana akhirnya Petronas menyerah juga," pungkas Mamit.
Advertisement