Uni Eropa Belum Sepakat Soal Hak Paten Vaksin COVID-19

Uni Eropa belum sepakat tentang keputusan Presiden AS Joe Biden untuk melonggarkan hak paten COVID-19.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 07 Mei 2021, 17:04 WIB
Ilustrasi bendera Uni Eropa (AFP Photo)

Liputan6.com, Jakarta - Uni Eropa belum sepakat tentang wacana Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden untuk melonggarkan hak paten vaksin COVID-19. Salah satu yang menolak adalah Jerman karena dianggap membahayakan inovasi. 

Duta Besar Uni Eropa untuk ASEAN, Igor Driesmans, menyebut Presiden Biden belum menyerahkan proposalnya dan baru bicara lewat konferensi pers. Uni Eropa mengaku siap membaca proposal Biden jika sudah ada. 

"Kita baru melihat konferensi pers yang sangat singkat dari pihak Presiden Biden. Saya berkata mari lihat secara konkrit apa yang mereka proposalkan," ujar Dubes Driesmand dalam peluncuran EU-ASEAN Blue Book 2021, Jumat (7/5/2021).

Dubes Driesmans berkata Uni Eropa siap membaca proposal dari Biden dengan terbuka. Namun, Uni Eropa berkata fokus saat ini adalah menggenjot produksi vaksin, serta menghindari penjegalan pengiriman vaksin ke negara yang butuh.

"Prioritas kita sekarang adalah menamabh kapasitas produksi, (tapi) kita akan mempelajari proposalnya dengan pikiran terbuka," ucapnya.

Andalan Uni Eropa saat ini adalah fasilitas COVAX. Dubes Driesmans berkata Uni Eropa adalah penyokong dana utama dari COVAX agar berbagai negara bisa mendapatkan vaksin multilateral. 

 

Saksikan Video Pilihan Berikut:


Jerman Menolak

Beberapa orang berjalan melintasi Marienplatz yang hampir kosong selama lockdown di Kota Munich, Jerman, Selasa (5/1/2021). Pemerintah Jerman sepakat untuk memperpanjang langkah-langkah lockdown hingga 31 Januari untuk mengekang penyebaran COVID-19. (Peter Kneffel/dpa via AP)

Sebelumnya, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menyebut siap berdiskusi dengan Presiden Biden mengenai masalah hak paten vaksin COVID-19.

Akan tetapi, Jerman menolak pelonggaran hak paten vaksin COVID-19. Argumen Jerman adalah proposal ini tidak menyentuh akar masalah, yakni kapasitas produksi vaksin.

"Faktor-faktor penghambat produksi vaksin adalah kapasitas produksi dan standar berkualitas tinggi, dan bukan patennya," demikian pernyataan pemerintah Jerman seperti dikutip BBC.

Wacana Presiden Joe Biden untuk melonggarkan hak paten vaksin diungkap oleh Duta Besar Perdagangan AS, Katherine Tai. Ia menyebut akan melakukan negosiasi terlebih dahulu dengan berbagai pihak di WTO.

"Negosiasi-negosiasi ini akan dilaksanakan berdasarkan konsensus di institusi dan kompleksitas dari isu-isu yang terlibat. Tujuan pemerintahan (Biden) adalah mendapatkan vaksin yang aman dan efektif bagi banyak orang secepat mungkin," jelas Tai.


Respons Dunia Industri

Pekerja menyiapkan box berisi vaksin Moderna COVID-19 untuk dikirim di pusat distribusi McKesson di Olive Branch, Mississippi, AS, Minggu (20/12/2020). Selama seminggu, Pemerintah federal berencana mendistribusikan total 7,9 juta dosis vaksin dari Moderna dan Pfizer Inc (AP Photo/Paul Sancya, Pool)

Pihak industri berkata bahwa pengesampingan HAKI pada vaksin bisa membawa dampak negatif pada pengembangan vaksin.

Dr. Michelle McMurry-Heath, chief executive dari grup dagang Biotechnology Innovation Organization, menyebut keputusan waiver dapat melemahkan insentif untuk mengembangkan vaksin dan pengobatan pada pandemi di masa depan.

Selain itu, ia berkata membuat vaksin tak hanya cukup dengan memberikan resep.

"Memberikan negara-negara yang membutuhkan buku resep tanpa bahan-bahan, keamanan, dan tenaga kerja yang dibutuhkan tidak akan menolong orang-orang yang butuh vaksin," ucapnya seperti dilaporkan AP News, Kamis (6/5).

Stephen Ubl, presiden dan CEO Pharmaceutical Research and Manufacturers of Amerika, menyebut keputusan pemerintah AS akan menyebar kebingungan antara mitra publik dan swasta.

"(Hal itu) akan menambah lemah rantai suplai yang sudah terkekang dan menambah pemalsuan vaksin," ujarnya.


Infografis COVID-19:

Infografis 8 Tips Nyaman Pakai Masker Cegah Covid-19 (Liputan6.com/Triyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya