Waspada, Cakupan Imunasi Menurun Akibat Terlalu Fokus Penanganan Pandemi COVID-19

COVID-19 ternyata berdampak pada layanan kesehatan lain, termasuk turunnya cakupan imunisasi sehingga meningkatkan Penyakit yang dapat dicegah dengan Imunisasi (PD3I).

oleh Fitri Syarifah diperbarui 09 Mei 2021, 09:00 WIB
Prof Hartono Gunardi. dok. YouTube Kementerian Kesehatan

Liputan6.com, Jakarta Sejak munculnya COVID-19, hampir semua pelayanan fasilitas kesehatan berfokus pada penangangan virus SARS-CoV-2 tersebut. Sayangnya, hal ini ternyata berdampak pada layanan kesehatan lain, termasuk turunnya cakupan imunisasi sehingga meningkatkan Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).

Seperti disampaikan Kepala Div. Tumbuh Kembang Pediatri Sosial FKUI-RSCM, Prof Hartono Gunardi bahwa sejumlah negara mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri seperti di Vietnam terdapat 198 kasus hingga Oktober 2020. Begitu juga di KLB difteri di negara bagian Shan, Myanmar yang terdapat 36 kasus hingga Juli 2020.

"Sekitar 2-3 juta kematian bisa dicegah dengan imunisasi. Namun dengan adanya COVID-19, cakupan imunisasi menurun. Padahal 1 kasus kematian COVID-19 akibat kunjungan rutin untuk vaksinasi di klinik sama dengan 84 kematian dicegah dengan imunisasi rutin," katanya dalam webinar Pekan Imunisasi Dunia 2021: Bersatu Sehatkan Negeri, Sabtu (8/5/2021).

Menurut Prof Hartono, dalam survei cepat yang dilakukan para ahli pada bulan April 2020, ada 84 persen layanan fasilitas terganggu. Dan 76 persen orang takut terjangkit COVID-19 saat kunjungan imunisasi.

"Pada April 2020, ada lebih dari 500.000 bayi belum imunisasi vaksin DTP-HB-Hib 11 dan 3 (cakupan turun 50,1 persen dari 2019). Ini yang perlu diwaspadai karena mungkin akibat surveilance atau pelacakan yang minim serta petugas yang berkonsentrasi pada COVID-19," ujarnya.

 

Simak Video Berikut Ini:


Apa dampaknya bagi anak?

Prof Hartono Gunardi memberikan beberapa contoh yang bisa terjadi bila jumlah masyarakat yang imunisasi berkurang. Misalnya, terkait Difteri yang membuat anak sulit bernapas.

"Pada difeteri, anak akan kesulitan bernapas karena saluran napasnya tertutup oleh selaput putih yang bila diangkat akan menyebabkan anak mengalami pendarahan. Sehingga perlu dirawat dengan serum. Masalahnya serum ini diimpor dan pabrik di luar negerti yang memproduksinya ditutup, jadi antidifteri ini menjadi langka. Padahal untuk mengatasi difteri ini perlu diobati segera dengan serum dan antibiotik," katanya.

Begitu pun dengan polio. Di beberapa negara polio semakin mengganas. Para ahli mengkategorikan virus polio menjadi Polio Liar (WPV1) dan virus Polio yang disebabkan oleh vaksin polio yang mengalami mutasi (cVD PV1).

Dalam sebaran dunia yang dipublikasikan WHO pada 4 Mei 2021, sejumlah negara tercatat masih memiliki virus polio liar seperti Pakistan, Afghanistan, serta Indonesia pada Februari 2019.

Sedangkan virus vaksin polio atau mutasi terjadi di kawasan Afrika seperti Madagaskar dan Yaman. Sementara akibat virus vaksin polio atau mutasi banyak juga terjadi di negara bagian Afrika seperti Senegal, Nigeria, Tajikistan, Sudah Selatan, Kongo, Mali, Somalia, Kamerun, dan lainnya, termasuk Filiphina dan Malaysia. "Semua berpotensi menularkan ke negara bebas polio seperti Indonesia," kata prof Hartono.

"WHO memberikan contoh kasus polio pada anak Filiphina bernama Junaisa 3 tahun yang menderita polio akibat virus vaksin polio yang menyerupai virus polio liar. Ia mengalami demam hingga kelumpuhan karena hanya imunisasi BCG dan OPV 1 kali," katanya.

Menurut Prof Hartono, vaksin polio hanya bisa dicegah dengan vaksin polio oral. "Sedangkan virus tipe 2 hanya bisa dengan vaksin polio suntikan IPC. Maka itu, vaksin polio harus selalu sedia secara memadai di puskesmas atau fasilitas kesehatan di Indonesia."

Untuk campak, lanjut Prof Hartono, bisa menyebabkan anak mengalami defisiensi vitamin A yang mengakibatkan kebutaan, encephalitis hingga pneumonia dan diare pada anak.

Untuk mencegah sejumlah penyakit tersebut, Prof Hartono mengatakan bahwa orangtua harus tetap memperhatikan imunisasi anak, terutama pada saat pandemi COVID-19. "Lengkapi imunisasi sesuai rekomendasi IDAI dan Permenkes 2017. Prioritaskan usia anak 0-18 bulan. Imunisasi dilakukan dengan memperhatikan keamanan bagi anak, orangtua dan tenaga kesehatan," katanya.

"Prioritas imunisasi dasar lengkap dan ulangan dilakukan sampai usia 18 bulan, pertimbangkan vaksin multipel (ganda). Diperlukan juga upaya untuk mengatur jadwal, hygiene, physical distancing serta APD," pungkasnya.


Infografis 9 Panduan Imunisasi Anak Saat Pandemi Covid-19.

Infografis 9 Panduan Imunisasi Anak Saat Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya