Poros Islam di Pemilu 2024 Dinilai Memperbesar Politik Identitas di Masyarakat

Anis menilai, seharusnya yang dilakukan elite adalah mencari satu hal yang menyatukan semua masyarakat. Seperti ketika masyarakat Indonesia bersatu menjelang hari kemerdekaan dulu.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Mei 2021, 04:45 WIB
Pendiri Garbi Anis Matta saat berbicara dalam acara diskusi milenial di kawasan Jakarta, Minggu (14/7/2019). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Munculnya wacana poros Islam di pemilu 2024 mendatang dinilai Ketua Umum Partai Gelora Anis Mata hanya akan memperlebar pembelahan politik identitas di masyarakat pasca Pilpres 2019.

Hal itu disampaikan  nis dalam diskusi Moya Institute bertajuk Prospek Islam dalam Kontestasi 2024 secara daring, Jumat (7/5/2021).

Anis Matta menolak ide koalisi poros Islam. Ia mengaggap masih ada persoalan yang jauh lebih signifikan daripada sekadar ide poros Islam. "Ide ini menurut saya hanya akan memperdalam pembelahan yang sedang terjadi di masyarakat," ungkap dia.

Anis melihat saat ini sedang dalam krisis sistemik yang terjadi secara global dan nasional. Krisis ini mengakibatkan keterbelahan di masyarakat. Elite politik dari kelompok Islam (kanan), tengah maupun kiri sedang bingung menghadapi krisis ini.

"Di Indonesia sedang mengalami pembelahan ini dan menurut saya pembelahan ini satu fenomena yang menunjukan elite kita sedang mengalami kebingungan akibat krisis sistemik ini. Kita alami krisis sistemik dan krisis leadership saya kira kebingungan ini ada di kelompok Islam, kelompok tengah dan kelompok kiri," kata Anis.

Pembentukan poros Islam bukan sebuah solusi masalah ini. Anis menilai, poros Islam bukan menyatukan tetapi justru akan membuat kelompok-kelompok kecil di masyarakat.

"Justru cara kita merespon dengan pembentukan poros Islam membuat kita masuk konfrontasi yang merusak rumah besar bangunan Indonesia," kata Anis.

Seharusnya yang dilakukan elite adalah mencari satu hal yang menyatukan semua masyarakat. Seperti ketika masyarakat Indonesia bersatu menjelang hari kemerdekaan dulu.

"Jadi dari pengalaman masa lalu dan melihat konstelasi geopolitik yang dibutuhkan satu model blending politik baru yang berbasis pada pendalaman arah baru bagi negara kita. Saya ingin sebut arah sejarah baru. Situasinya mirip dengan situasi kita menjelang kemerdekaan kita perlu satu kata yang menyatukan kita," pungkas Anis.

Sementara Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Prof Komaruddin Hidayat mengaku terkesan dengan visi yang disampaikan Ketum Gelora Indonesia Anis Matta yang menyebutkan konsolidasi politik zaman Kemerdekaan yang mengutamakan nasionalisme.

"Pertama saya sepakat, bagaimana mengembalikan saat semangat awal menuju Indonesia merdeka. Kemudian kenapa ada Parpol Islam dan bukan parpol Islam, ada panggilan sejarah, sebagai satu kekuatan kritik, sebab ketika kritik itu bersama, maka akan lebih didengarkan,” ujar Prof Komarudin. 

Perspektif berbeda disampaikan Cendekiawan Muslim Azyumardi Azra, menurut dia kalau faktor Islam menjadi masalah dalam kehidupan bernegara, ia kira sangat berlebihan. 

“Sekarang yang mengusung partai Islam hanya dua yaitu PKS dan PPP. Saya melihat dua Partai Islam ini bagus. Saya tidak tahu Gelora ini berdasarkan Islam atau Pancasila. Tapi saya juga tidak melihat PKS dan PPP sebagai ancaman bagi bangsa," urainya.

Azyumardi menambahkan, koalisi berbasis Islam atau Pancasila peluangnya untuk bisa menang di Pemilu itu tergantung kemampuan menangkap atau mengkapitalsiasi masalah di masyarakat. 

"Banyak sekali masalah ekonomi, sosial, disrupsi tingkat lokal, nasional dan global. Jadi tdak bisa hanya bicara pada ideologi saja. Apakah Islam atau Pancasila," tambahnya.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Problem Internal Partai Islam

Ilustrasi Partai Islam

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas mengatakan, gambaran opini publik saat ini memang masih belum percaya deengan argumen yang diusung partai-partai berbasis massa Islam.

Hal itu kata Sirojudin tidak serta merta memunculkan alternatif fundamental bagi struktur kepartaian di Indonesia. Tahun 1999, ada 4 partai berbasis massa Islam: PKB, PAN, PK, PPP.

"Partai-partai berbasis massa Islam memiliki problem cukup besar di dengan konflik internal. Karena itu, kecenderungan suara Partai Islam dari 1999-2014 menurun. Prospeknya seperti apa kalau melihat tantangan seperti ini? Hegemoninya terlihat di sini," paparnya.

Ia menilai, mayoritas pemilih Muslim Indonesia masih sejalan dengan tesis Cak Nur, Islam Yes, Partai Islam No. "Ini indikasi masih kuatnya karakter Islam Moderat Indonesia yang secara sadar menghindarkan diri dari tarikan politik berbasis agama."

Disampaikan Sirojudin, survei SMRC terhadap Partai Islam dan estimasi kekuatannya: Ada 25-35 persen yang mengatakan yes pada partai Islam, dan sebanyak 65-75 persen no.

"Saya setuju dengan risiko jika politik identitas dijadikan sebagai dasar solidaritas politik masyarakat Islam. Risiko kegagalannya juga besar karena ketidakpercayaan kepada partai-partai Islam," ungkap dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya